Kamis, 29 Mei 2014

Harga Pasar Wajar atau NJOP

Terhitung sejak 1 Januari 2014 kemaren, DJP telah menyerahkan semua wewenang dan tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) kepada pemerintah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia sebagaimana amanat UU PDRD. Dengan demikian penetapan Nilai Jual Objek Pajak juga telah menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sementara dalam prakteknya, pemutakhiran data NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di berbagai wilayah pemerintah daerah yang tahun-tahun sebelumnya sudah melaksanakan pemungutan PBB P2 hampir dipastikan atau sebagian besar tidak dilakukan padahal pada masa dibawah wewenang DJP, NJOP sebagai patokan harga pasar suatu nilai properti belum sepenuhnya mendekati assessment sales ratio yang ideal.



Bisa dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar antar daerah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan dengan potensi PPh maupun PPN yang terutang atas transaksi properti maka akan menjadi suatu potential loss yang besar bagi penerimaan pajak. Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi properti terdapat pajak yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara untuk PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah NJOP, maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Sementara itu jika melihat perkembangan pasar properti di Indonesia, bisnis ini terus tumbuh seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau perkantoran.
Bisa dilihat secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan perumahan, ruko atau rukan sangat pesat. Geliat pertumbuhan investasi di sektor properti tidak hanya terjadi di Jabodetabek saja. Banyak daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor propertinya mulai berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa kurang dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal turut berperan sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan menjadi negara dengan nilai kontribusi industri properti terbesar ke tujuh di dunia, mengalahkan Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI menyebutkan bahwa nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang tahun 2013 menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun 2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak dari sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan pertumbuhan sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Dengan kenyataan ini, maka penerimaan pajak dari sektor properti menjadi relevan untuk tetap diperhatikan oleh DJP dalam rangka menyumbang pengamanan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan banyak transaksi properti yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar pengenaan pajak yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.

Dapat dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900 juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp. 240 juta. Dengan berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi dalam pencantuman angka transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 300 juta. Kecenderungan tersebut adalah karena baik penjual maupun pembeli properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT, biaya pengurusan sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada loss sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap antara NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga tidak mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa transaksi yang wajar atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta. Sementara itu jika mengandalkan pemerintah daerah kabupaten atau kota untuk terus menjaga atau meng-update NJOP yang mendekati harga pasar wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat sumber daya pemerintah daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti masih kurang.

Dapat dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun PPN dari transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2 terjadi stagnan dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara pertumbuhan pasar properti yang selalu meningkat berikut kenaikan harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP perlu segera merumuskan kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi properti yaitu nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak hanya berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar wajar ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri Keuangan tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB yang dulu lebih dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam SK Klasifikasi yang bisa diberi nama SK Indikasi Nilai Pasar Wajar Properti atau apapun namanya, paling tidak berisikan informasi atau patokan zona-zona nilai tanah terutama di wilayah-wilayah pengembangan pembangunan suatu kota atau kabupaten.

Selain zona nilai tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan (properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut juga bisa langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah, rumah, apartemen, ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap perlu sebagai acuan dalam mengoreksi kepatutan harga atas transaksi properti atau real estate tertentu. Nilai suatu bangunan juga sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu indikasi nilai biaya pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam pengenaan PPN kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan (KEP-533/PJ/2000). Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi nilai sewa wajar atas properti pada setiap zona sebagai instrument yang mendukung untuk menentukan besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan.

Dengan mengoptimalkan tenaga Fungsional Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu meng-update nilai pasar wajar properti yang mana informasi data harga pasar suatu properti sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media, jual-beli online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan instrumen SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi jual-beli properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan kewajiban PPh maupn PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak pada sektor properti yang terus berkembang. Instrumen ini juga dapat memberikan kepastian hukum ataupun akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang dapat menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.

Dengan instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai tertentu pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai rentang nilai yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan adalah bahwa tidak menutup kemungkinan instrumen tersebut digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebagai acuan dalam penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 maupun BPHTB sehingga dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah tersebut. Manfaat lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan seimbang baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa adil bagi masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan tingkat partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Sumber: www.pajak.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan mengisi kolom komentar ini