Jumat, 29 Agustus 2014

Pengertian Akuntansi Pemerintahan

Pengertian Akuntansi Pemerintahan - Pada hakekatnya akuntansi pemerintahan adalah aplikasi akuntansi di bidang keuangan Negara (public finance), khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran (budget execution), termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkatan dan unit pemerintahan. (Kustadi Arinta)



Definisi Akuntansi Pemerintahan Menurut Para Ahli- Menurut Revrisond Baswir (2000:7), Akuntansi Pemerintahan (termasuk akuntansi untuk lembaga non profit pada umumnya) merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk tidak mencari laba. Walaupun lembaga pemerintah senantiasa berukuran besar, namun sebagaimana dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro.


Bachtiar Arif dkk (2002:3) mendefinisikan akuntansi pemerintahan sebagai suatu aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklaifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut.

Sedangkan menurut Abdul Halim (2002:143) menyebutkan bahwa Akuntansi Pemerintahan adalah sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai alternatif arah tindakan.


Tujuan Akuntansi Pemerintahan


Menurut Bachtiar arif, Muchlis, Iskandar dalam Akuntansi Pemerintahan, tujuan akuntansi pemerintahan dan akuntansi bisnis pada umumnya adalah sama yaitu :


a.    Akuntabilitas
Di dalam pemerintahan, keuangan Negara yang dikelola harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai amanat konstitusi. Pelaksanaan fungsi ini di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Ps 23 ayat (5).


b.    Manajerial
Akuntansi pemerintahan memungkinkan pemerintah untuk melakukan perencanaan berupa penyusunan APBN dan strategi pembangunan lain, untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengendalian atas kegiatan tersebut dalam rangka pencapaian ketaatan kepada peraturan perundang-undangan, efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.


c.    Pengawasan
Pemeriksaan keuangan di Indonesia terdiri dari pemeriksaan keuangan secara umum, pemeriksaan ketaatan , dan pemeriksaan operasional atau manajerial.

 Judul Postingan ini adalah (Pengertian Akuntansi Pemerintahan Menurut Para Ahli Definisi, Tujuan, Syarat, Karakteristik)


Karakteristik Akuntansi Pemerintahan

Akuntansi Pemerintahan memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan akuntansi bisnis. Berdasarkan tujuan pemerintah diatas, Bachtiar Arif, Muclis, Iskandar (2002:7) menyebutkan beberapa karaktristik akuntansi pemerintahan yaitu sebagai berikut:
  • Pemerintah tidak berorientasi pada laba sehingga dalam akuntansi pemerintah tidak ada laporan laba (income statement) dan treatment akuntansi yang berkaitan dengannya.
  • Pemerintah membukukan anggaran ketika anggaran tersebut dibukukan.
  • Dalam akuntansi pemerintahan dimungkinkan mempergunakan lebih dari satu jenis dana.
  • Akuntansi pemerintahan akan membukukan pengeluaran modal.
  • Akuntansi pemerintahanan bersifat kaku karena sangat bergantung pada peraturan perundang-undangan.
  • Akuntansi pemerintahan tidak mengenal perkiraan modal dan laba yang ditahan dalam neraca.
Syarat Akuntansi Pemerintahan


Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintahan sesuai dengan karakteristik dan betujuan untuk memenuhi akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan suatu pedoman untuk akuntansi pemerintahan (A Manual Governmental Accounting) yang dapat diringkas sebagai berikut (dalam Bahctiar Arif dkk, 2002:9):

  • Dapat memenuhi persyaratan UUD, UU, dan Peraturan lain.
    Akuntansi pemerintahan dirancang untuk persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh UUD, UU, dan Peraturan lain. Apabila terdapat dua pilihan yaitu untuk kepentingan efisiensi dan ekonomis di satu sisi, sedangkan disisi lain hal tersebut bertentangan dengan UUD, UU atau Peraturan lainnya, maka akuntansi tersebut harus disesuaikan dengan UUD, UU dan Peraturan lainnya.

  • Dikaitkan dengan klasifikasi anggaran
    Sistem Akuntansi Pemerintah harus dikembangkan sesuai dengan klasifikasi anggaran yang telah disetujui pemerintah dan lembaga legislatif. Fungsi anggaran dan akuntansi harus saling melengkapi di dalam pengelolaan keuangan negara serta harus diintegrasikan.

  • Perkiraan-perkiraan yang harus diselenggarakan
    Sistem Akuntansi Pemerintah harus mengembangkan perkiraan-perkiraan untuk mencatat transaksi uang terjadi. Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus dapat menunjukkan akuntabilitas keuangan negara yang andal dari sisi obyek dan tujuan pengguanaan dana serta pejabat atau organisasi yang mengelolanya.

  • Memudahkan pemeriksaan oleh aparatur negara
    Sistem akuntansi pemerintah yang dikembangkan harus memungkinkan aparat pemeriksaan untuk melakukan tugasnya.

  • Sistem akuntansi harus terus dikembangkan
    Dengan adanya perubahan lingkungan dan sifat transaksi, sistem akuntansi pemerintahan harus terus disesuaikan dan dikembangkan  sehingga tercapai efisiensi, efektivitas dan relevansi.

  • Perkiraan-perkiraan yang harus dikembangkan secara efektif
    Sistem akuntansi pemerintahan harus mengembangkan perkiraan-perkiraan secara efektif sehubungan dengan sifat dan perubahan lingkungan sehingga dapat mengungkapkan hasil ekonomi dan keuangan dari pelaksanaan suatu program.

  • Sistem harus dapat melayani kebutuhan dasar informasi keuangan guna pengembangan rencana dan program.
    Sistem akuntansi pemerintahan harus dikembangkan untuk para pengguna informasi keuangan, yaitu pemerintah, rakyat (lembaga legislatif), lembaga dodnor, Bank Dunia, dan lain sebagainya.

  • Pengadaan suatu perkiraan
    Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus memungkinkan analisis ekonomi atas data keuangan dan mereklasifikasi transaksi-transaksi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka pengembangan perkiraan-perkiraan nasional.




Sumber: http://niningsukardi.blogspot.com

Kamis, 28 Agustus 2014

Sekilas Tentang : Contract Manufacturing

Sebagai praktisi dibidang perpajakan dan akuntansi dapat dipastikan bahwa istilah jasa maklon (Contract Manufacturing/Toll Manufacturing) adalah hal yang tidak asing, yaitu suatu kegiatan bertujuan untuk memanfaatkan utilitas pabrik yang masih belum maksimal dengan memproduksi pesanan dari merek perusahaan lain. Agar lebih jelas maka berikut ini coba saya uraikan keterkaitan dari ciri-ciri bahwa suatu kegiatan yang dapat dikategorikan jasa maklon harus meliputi hal-hal dibawah ini dan jikalau tidak memenuhi salah satu kriteria maka kegiatan tersebut adalah merupakan transaksi pembelian berdasarkan pesanan (job order), keterkaitan ciri-ciri itu adalah :


  1. Pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan).
  2. Spesifikasi produk yang diolah ditentukan oleh pengguna jasa.
  3. Sebagian atau seluruh bahan disediakan oleh pihak pengguna jasa, bahan baku dapat merupakan bahan baku, barang setengah jadi, bahan penolong/pembantu.
  4. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa
Mekanisme
Dapat disimpulkan bahwa dalam jasa maklon ini terdapat Pengguna Jasa serta Pemberi Jasa, dimana mereka memiliki suatu perjanjian/kesepakatan dalam bentuk kontrak perjanjan yang berisi jenis pekerjaan yang dilaksanakan, jangka waktu pekerjaan, serta imbalan (fee) yang diterima Pemberi Jasa.

Maka permasalahan akan timbul apabila suatu perusahaan salah dalam melakukan penerapan dalam perlakuan akuntansi terhadap jasa ini, yang juga akan terjadi pada penerapan perpajakannya sejak mulai penghitungan, penyetoran dan pelaporannya.

Ditinjau dari sudut Akuntansi
  1. Pihak pengguna jasa adalah pihak yang berotoritas atas bahan baku dan barang jadi
  2. Pihak Pemberi Jasa harus membedakan/memisahkan biaya pemakaian bahan-bahan yang dibeli sendiri dengan yang disediakan oleh Pengguna Jasa yang terurai dalam kontrak perjanjian.
  3. Pada saat menerima bahan baku/penolong tidak pihak penerima jasa tidak melakukan jurnal.
  4. Jika dapat dipisahkan atas biaya-biaya yang dikeluarkan sendiri oleh penerima jasa atas biaya yang timbul dari pemakaian bahan penolong lainnya dapat dibebankan oleh penerima jasa namun tidak oleh pengguna jasa (Suniarto, 2005).
  5. Biaya yang boleh dibebankan oleh penerima jasa adalah biaya yang berhubungan langsung/produksi tidk langsung dengan maklon seperti, tenaga kerja, asuransi mesin, reparasi mesin dll.
  6. Saat Jasa Maklon selesai dan memberikan tagihan kepada pengguna jasa, dengan memberikan Faktur pajak serta dengan jurnal Piutang Jasa Maklon pada Pendapatan Maklon + PPN 10%.
  7. Saat imbalan (fee) diterima dengan jurnal Kas/Bank + PPh 23/26 pada Piutang Jasa Maklon.
Ditinjau dari sudut Perpajakan
A. Peraturan Terkait
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 70/PMK.03/2010 sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 tentang Tentang Batasan Kegiatan Dan Jenis Jasa Kena Pajak Yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
B. Aspek Perpajakan
  1. Pajak Penghasilan,
    • Imbalan sehubungan dengan Jasa Maklon, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
    • PPh 23/26, terutang PPh pasl 23/26 dan tidak bersifat final. Dikenakan atas jasanya saja kecuali tidak dapat dipisahkan,, yang melakukan pemotongan adalah pihak pengguna jasa.
  2. Pajak Pertambahan Nilai,
Penerimaan bahan baku dari pihak pengguna jasa dikenakan PPN namun tidak dipungut. Pemberi Jasa menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak atas JKP. Batasan kegiatan Jasa Maklon yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) adalah sebagai berikut:
  1.  
    • Pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT).
    • Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;
    • Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan;
    • Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dan
    • Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
  2. Gambaran Klasifikasi

Contoh Kasus : SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S – 325/PJ.312/2000
Surat dari Wajib Pajak dengan penjelasan sbb :

Surat Nomor : XXX tanggal 14 Maret 2000 dan lampiri antara lain Laporan atas Perjanjian Contract Manufacturing (Maklon) antara PT. XYZ Indonesia dengan XYZ Eropa, B.V (EMTC) yang berkedudukan di Belanda dan Laporan Analisa Perbandingan atas Pabrikan-pabrikan Maklon di Timur Jauh oleh Ernst & Young LPP, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
  1. PT. XYZ merupakan perusahaan penanaman modal asing yang berorientasi ekspor dan telah mandapatkan status “Kawasan Berikat” (KB). Dalam menjalankan usahanya, PT XYZ menerapkan contract manufacturing agreement (perjanjian maklon) dengan satu-satunya pelanggan diluar negeri dan merupakan milik saham mayoritas PT XYZ yaitu Mattel Eropa, B.V (ETMC). Atas jasa pengolahan produk untuk kepentingan EMTC, PT XYZ mendapat imbalan maklon sebesar 5% dari local value added (LVA) yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan overhead. Adapun bahan baku yang diolah merupakan milik EMTC sehingga dalam pembukuannya dicatat sebagai consigned material (CM).
  2. Seluruh produk yang dihasilkan PT XYZ adalah untuk diekspor dan atas kegiatan ini, peraturan kepabeanan mewajibkan PT XYZ mempergunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) seperti juga eksportir lainnya yang bukan pabrikan maklon, yang nilainya meliputi seluruh komponen biaya (bahan baku, tenaga dan overhead. Sebagai akibat dari ketentuan ini, nilai ekspor yang tercantum dalam PEB berbeda dengan penghasilan usaha yang diakui oleh PT XYZ.
  3. Pengadaan bahan dan komponen diperoleh dari pemesan yaitu EMTC atau EMTC meminta kepada PT XYZ selaku agen pembeliannya, untuk membeli bahan dan komponen tersebut dari pemasok-pemasok yang telah disetujui oleh dan atas tanggungan EMTC sepenuhnya. Sesuai perjanjian maklon, hak kepemilikan dan resiko atas bahan dan komponen-komponen tersebut tetap berada pada EMTC. EMTC juga menanggung seluruh biaya yang diperlukan untuk perolehan bahan dan komponen yang antara lain meliputi harga beli barang, pengangkutan, asuransi, dan resiko barang rusak atau hilang.
  4. Penetapan harga yang diterapkan oleh Mattel adalah metode cost-plus pricing untuk semua pabrikan di seluruh dunia termasuk PT XYZ Untuk keperluan tersebut, atas permintaan Mattel, Ernst & Young LLP telah melaksanakan studi perbandingan atas laba operasi dari maklon di negara-negara Timur Jauh. Hasil studi perbandingan menunjukan bahwa marjin yang diterima oleh pabrikan-pabrikan maklon tersebut berkisar antara 0,97% sampai 7,33% dari biaya yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut, Mattel berkesimpulan bahwa marjin 5% merupakan harga pasar yang wajar.
Permohonan Penegasan Wajib Pajak sbb :
  1. Bahwa perjanjian maklon (contact manufacturing agreement) baik antara dua Wajib Pajak dalam negeri maupun antara Wajib Pajak dalam negeri dengan Wajib Pajak luar negeri merupakan pengaturan bisnis yang dapat diterima (acceptable business arangement).
  2. Bahwa nilai ekspor yang tercantum dalam PEB tidak sama dengan pendapatan untuk penghitungan Pajak Penghasilan badan (PPH Pasal 25/29).
  3. Bentuk pencatatan dan penagihan (invoicing) tidak akan menimbulkan kesalahpahaman dari pihak-pihak instansi terkait.
  4. Bahwa atas jasa imbalan maklon yang seluruh produknya diekspor dikenakan tarif 0%.
Kesimpulan Jawaban dari DJP
A. Pajak Penghasilan
  1. Kepemilikan saham mayoritas PT XYZ oleh EMTC berakibat pada terjadinya hubungan istimewa.
  2. Sebagai pabrikan maklon yang hanya membuat produk atas dasar pesanan dan dengan bahan-bahan serta spesifikasi dari EMTC (termasuk mempunyai kebiasaan untuk mengurus persediaan bahan baku atau barang jadi dan secara teratur menyerahkan barang jadi tersebut atas nama EMTC kepada pelanggan, PT XYZ merupakan dependent agent dari EMTC. Dengan demikian EMTC memiliki BUT Indonesia.
  3. Sebagai entitas yang terpisah dari EMTC, PT XYZ merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan juga BUT yang berkewajiban perpajakannya disamakan dengan Wajib Pajak dalam negeri. Dalam kaitannya sebagai Wajib Pajak dalam negeri, yang menjadi Objek Pajak Penghasilan PT XYZ adalah penghasilan yang diperoleh sebagai imbalan atas jasa maklon yaitu sebesar 5% (lima persen) dari local added value (LAV) yang terdiri dari biaya overhead dan biaya tenaga kerja. Sedangkan yang menjadi Objek Pajak BUT adalah jumlah peredaran usaha seperti yang tercantum dalam PEB dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
  4. Atas imbalan jasa maklon sepanjang telah mencerminkan harga yang wajar (arm’s length price) dapat diterima sebagai penghasilan PT XYZ sebagai WP dalam negeri, sehingga perbedaan antara nilai ekspor dalam PEB dan pendapatan yang didasarkan pada kontrak manufacturing agreement tidak dapat dijadikan dasar untuk mengoreksi pendapatan dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri.
  5. Reimbursement yang diterima PT XYZ atas pembelian bahan baku bukan merupakan penghasilan sehingga atas biaya-biaya yang dikeluarkan juga bukan merupakan pengurang penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai WP dalam negeri. Namun demikian, biaya-biaya tersebut merupakan biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dari PT XYZ sebagai BUT EMTC. Apabila reimbursement penghasilan kena pajak lebih besar dari pada nilai pembelian bahan baku dimaksud maka selisih lebih tersebut merupakan penghasilan bagi PT XYZ.
  6. Gaji tenaga ahli yang dikirim oleh EMTC tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak PT XYZ sebagai WP dalam negeri namun merupakan beban dari PT XYZ sebagai BUT EMTC, sehingga BUT berkewajiban memotong PPh Pasal 21 apabila keberadaan tenaga ahli tersebut lebih dari 183 hari dalam satu tahun pajak atau PPh Pasal 26 apabila berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam satu tahun pajak.
  7. Perlu ditegaskan bahwa sehubungan dengan telah dihentikannya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001, maka terhitung mulai tanggal tersebut perlakuan mengenai gaji tenaga ahli dimaksud tunduk sepenuhnya kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
B. PPN/PPnBM
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa dengan ditetapkannya PT XYZ sebagai BUT EMTC, maka terjadi penyerahan dengan perlakuan PPN dan PPnBM sebagai berikut :
  1. atas impor oleh dan/atau penyerahan barang dan/atau bahan kepada PT XYZ sebagai BUT EMTC maupun PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk diolah di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  2. atas penyerahan barang dan/atau bahan dari PT XYZ sebagai BUT EMTC ke PT XYZ sebagai Wajib pajak dalam negeri dalam rangka subkontrak di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  3. atas penyerahan kembali Barang Kena Pajak (BKP) hasil pekerjaan subkontrak oleh PT XYZ sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri ke PT XYZ sebagai BUT EMTC di Kawasan Berikat tidak dipungut PPN dan PPnBM;
  4. atas penyerahan Jasa Maklon merupakan Penyerahan Jasa Kena Pajak dalam Kawasan Berikat dari PT XYZ sebagai Wajib Pajak dalam negeri kepada PT XYZ sebagai BUT EMTC terutang PPN 10% dari imbalan maklon yang diterima (5% dari local value adde);
  5. ekspor BKP oleh PT XYZ sebagai BUT EMTC kepada Mattel Eropa, B.V dikenakan PPN dengan tarif 0%.
  6. Dalam hal terjadi penyerahan BKP tersebut di dalam daerah pabean (penyerahan lokal) maka atas penyerahan tersebut terutang PPN dengan tarif 10% dan PPn BM sesuai ketentuan yang berlaku.




Sumber: http://www.nusahati.com

Senin, 18 Agustus 2014

Ulasan Tentang Deferred Tax Assets (DTA) dan Deferred Tax Liabilities (DTS)



Deferred Tax atau Pajak Tangguhan pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan temporer atau beda waktu atas pengakuan penghasilan dan biaya antara praktik akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Misalnya, biaya penyusutan. Meskipun demikian, pada akhir masa manfaat aktiva total biaya penyusutan akan sama (sehingga disebut beda waktu).




Pajak Tangguhan terdiri atas:

1. Aktiva Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Assets (DTA) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya beda waktu yang boleh dikurangkan (deductable temporary differences) dan sisa kompensasi kerugian.

2. Kewajiban Pajak Tangguhan atau Deferred Tax Liabilities (DTL) adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya beda waktu kena pajak (taxable temporary differences). Deferred Tax Assets timbul jika laba fiskal lebih besar daripada laba komersial. Sehingga ada PPh yang dibayar sekarang untuk penghasilan yang akan diakui di masa mendatang.

Contoh penghitungan DTA :

PT A pada tahun 2008 memperoleh laba (komersial) Rp. 250.000.000,00 sedangkan menurut laba fiskal Rp. 300.000.000,00 Selisih ini terjadi karena beban penyusutan komersial Rp. 100.000.000 sedangkan menurut penyusutan fiskal hanya Rp. 50.000. 000,00 sehingga terdapat koreksi fiskal positif Rp. 50.000.000,00.

DTA = Selisih laba X Lapisan tarif tertinggi (30%) = 30% X Rp. 50.000.000,00 = Rp. 21.000.000,00 Selain itu Deferred Tax Assets juga timbul karena perusahaan masih mempunyai sisa rugi fiskal yang dapat digunakan untuk kompensasi.

Deferred Tax Liabilities timbul jika laba fiskal lebih kecil daripada laba komersial. Sehingga ada PPh yang akan terutang di masa mendatang untuk penghasilan yang diakui masa kini.

Contoh penghitungan DTL :

PT B pada tahun 2008 memperoleh laba (komersial) Rp. 200.000.000,00 sedangkan menurut laba fiskal Rp. 175.000.000,00 Selisih ini terjadi karena beban penyusutan komersial Rp. 25.000.000 sedangkan menurut penyusutan fiskal hanya Rp. 50.000. 000,00 sehingga terdapat koreksi fiskal negatif Rp. 25.000.000,00.

DTL = Selisih laba X Lapisan tarif tertinggi (30%) = 30% X Rp. 25.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00





Sumber: http://harahaps.wordpress.com

Jumat, 15 Agustus 2014

Akuntansi Perhotelan: Mengenal Cash Basis dan Accruel Basis

Tahukah Anda maksud dari Cash Basis dan Accruel Basis?

Jika Anda seorang staff accounting sebuah hotel, lebih lebih jika Anda seorang chief accounting (CA), sebaiknya (dan mungkin seharusnya) Anda mengetahui maksud dari Cash Basis dan Accruel Basis ini , karena istilah ini sangatlah lekat dengan metode perhitungan pencatatan akuntansi di bisnis hotel.



Secara bahasa sederhananya istilah ini adalah sebagai berikut:

Cash Basis : pendapatan atau biaya yang pengakuannya dilakukan saat terjadi pengeluaran atau pemasukan kas, sedangkan

Accruel Basis : Pendapatan atau biaya yang pengakuannya dilakukan saat transaksi itu terjadi, meskipun belum menerima atau mengeluarkan kas

Kita ambil contoh adalah cara membukukan pendapatan kamar Misal Mr John menginap selama 3 malam di hotel kita yaitu mulai tanggal 3 sampai dengan tanggal 6. dimana pembayaran biasanya di lakukan pada saat dia meninggalkan hotel (Check Out).

Karena bisasanya hotel di jalankan selama 24 jam, maka dalam 1 hari (24 jam) harus di ambil sebuah moment dimana kita harus membedakan yang mana pendapatan atau biaya yang diakui sebagai pendapatan hari ini, dan mana yang akan di akui sebagai pendapatan atau biaya besok harinya. Biasanya proses perhitungan pendapatan hotel di lakukan pada tengah malam, oleh kasir shift malam, yang kemudian esok harinya laporan tersebut di setorkan ke bagaian Accounting (Back Office) untuk di bukukan dan di buat ke dalam laporan keuangan.

Kembali pada Mr John. Saat malam pertama , Mr John tidak melakukan pembayaran atas kamar yang di tempati, nah… perbedaan antar CASH BASIS dan ACCRUEL BASIS terjadi pada pembukuan pada pagi hari tanggal 4.

Jika Anda menggunakan metode Cash Basis, maka Anda tidak membukukan apa-apa pada tanggal 4, karena pada tanggal itu Anda tidak menerima uang Kas.

Tetapi jika Anda menggunakan metode Accruel Basis, maka Anda akan membukukan sebuah jurnal pendapatan atas Mr John . Contohnya adalah Sebagai berikut:

Nomer Perkiraan    Keterangan                   Debet                           Kredit
01.XXX                      Tagihan Kamar             Rp 100.000,-
04.XXX                      Pendapatan Sewa Kamar                               Rp 100.000,-

Catatan :

 kelompok AktivaèPerkiraan 01.XXX
 kelompok PendapatanèPerkiraan 04.XXX

Demikian juga di hari ke dua, Anda juga akan membukukan sebuah jurnal yang sama jika Anda menggunakan metode accruel basis
Nah… perbedaaan akan sangat terlihat saat Anda melakukan pen jurnal an di hari ketiga.

Untuk yang menggunakan metode Accruel Basis maka akan di bukukan dua buah jurnal di hari ketiga yaitu:

Nomer Perkiraan    Keterangan              Debet                  Kredit
01.XXX                       Tagihan Kamar        Rp 100.000,-
04.XXX                     Pendapatan Sewa Kamar                    Rp 100.000,-

Dan
Nomer Perkiraan      Keterangan             Debet               Kredit
01.XXX                          Kas                             Rp 300.000,-
01.XXX                         Tagihan Kamar                                 Rp 300.000,-

Nah Bagaimana? Sudah cukup jelas?
Semoga Bermanfaat



Sumber: http://pusathotel.wordpress.com

Kamis, 14 Agustus 2014

Akuntansi Perhotelan: Mencatat penggunaan persediaan dari gudang ke kitchen

Seperti kita ketahui, selain menyewakan kamar, biasanya sebuah bisnis hotel juga terdapat restoran atau rumah makan yang menyediakan berbagai menu untuk para tamu hotel, baik itu yang di hidangkan di restoran, maupun yang di pesan melalui room service.



Makanan yang di sajikan di restoran tersebut , tentunya akan di masak terlebih dahulu di dapur (kitchen), nah dari sinilah persedian di butuhkan untuk membuat sebuah menu makanan. Artinya di dalam kitchen harus sudah ada persediaan yang selalu tersedia untuk siap di buat masakan. Untuk itu maka di dalam kitchen bisa di asumsikan sebagai sebuah gudang sementara sebelum persediaan itu di masak. Semisal kita sebut gudang ini sebagai gudang 1 (satu) atau gudang.

Pembelian persediaan yang di lakukan oleh bagian purchasing akan di masukkan ke dalam sebuah gudang tersendiri, di sini kita namakan gudang utama (Main Store).

Nah sekarang kita mempunyai dua gudang yaitu
  • Gudang utama dan
  • Gudang dapur ( atau nanti kita sebut Kitchen saja)
Setelah Anda paham akan maksud dari dua gudang ini, sekarang saya akan menjelaskan mengenai posisi persediaan yang ada di masing –masing gudang di dalam kaitanya dengan laporan neraca.

Persediaan di gudang utama di dalam laporan neraca masuk dalam kategori aktiva (harta) sedangkan gudang dapur tidak di akui di dalam neraca, karena barang, barang yang sudah ada di dapur sudah di anggap sebagai biaya, oleh karena itu persediaan yang di dapur , tidak boleh terlalu banyak, karena akan terlihat biaya yang sangat besar.

Akan tetapi sebenarnya meskipun persediaan di dapur bannyak, kita bisa saja membaliknya lagi di dalam laporan neraca sebagai persediaan lagi dengan cara sebagai berikut, saat akan membuat laporan neraca, kita melakukan stock opname pada persediaan yang ada di gudang dapur, kemudaian hasil nilai yang kita dapat, kita balik lagi menjadi persediaan dengan jurnal sebagai berikut:

Persediaan     xxxx
Biaya                      xxxx

Sehingga persediaan nya bertambah dan biayanya berkurang.

Balik lagi ke judul diatas, jadi yang di maksud adalah bagaimana memindahkan persediaan yang ada di gudang ke dalam kitchen untuk di jadikan BIAYA dapur. Jadi Anda pilih perkiraan biayanya dengan perkiraan “Biaya Dapur” misalnya, kemudian di daftar barang Anda pilih barang apa saja yang akan di taruh di kitchen.

Saat ini di lakukan maka persediaan akan berkurang dan biaya akan bertambah sejumlah total persediaan yang di alokasikan.

Sumber: http://pusathotel.wordpress.com

Selasa, 12 Agustus 2014

Prosedur Pencatatan Penerimaan Kas Akuntansi Perhotelan



PENERIMAAN KAS

Kas merupakan akun yang penting dalam operasional suatu hotel, tanpa ditunjang dengan kas yang memadai maka akan dapat mengganggu kelancaran aktivitas operasional suatu hotel, karena kas juga sebagai modal kerja yang sangat menunjang kelangsungan aktivitas keseharian suatu hotel.



1.PENERIMAAN KAS PADA PENJUALAN KAMAR

A.  Bagian  yang Terlibat dalam Prosedur Penerimaan Kas (Penjualan Kamar)
a.Front Office (FO) dan  FO cashier, dimana bagian ini bisa dirangkap oleh bagian FO yang bertugas menerima dan melaporkan setiap pembayaran tamu.
b.Night Audit bertanggung jawab atas kebenaran dan ketelitian pemasukan data penjualan tunai kamar dalam satu hari dari masing-masing outlet.
c.Income Audit mempunyai tugas untuk mencocokkan semua hasil penjualan tunai hotel dan mengkoreksi kembali pekerjaan night auditor.
d.General Cashier mempunyai tanggung jawab penuh atas semua penerimaan penjualan kamar.
B.  Dokumen yang Digunakan pada Prosedur Penerimaan Kas (Penjualan Kamar)
a.Guest bill
b.Room Sales Recapitulation
c.Remittance of Fund
C.  Prosedur Penerimaan Kas Hasil Penjualan Kamar
a.Pada akhir hari, semua kasir outlet memasukkan hasil penjualan beserta bukti pendukung dan pelaporannya ke dalam ROF, kemudian menitipkan ROF pada front office, yang selanjutnya akan di cek oleh night audit.
b.Keesokan harinya, semua ROF diserahkan ke income audit yang akan melakukan pengecekan ulang, kemudian akan menyerahkan hasil penjualan yang berupa tunai, seperti uang, slip kartu kredit, bank note traveler chequw pada general cashier
c.General Cashier akan mengecek kembali sesuai dengan laporan masing-masing outlet, kemudian mencatat dalam buku kas, mengarsipkan laporan masing-masing outlet sebagai bukti penerimaan kas, dan menyimpan atau menyetor uang ke bank.


2.PENERIMAAN KAS PADA PENJUALAN MAKANAN DAN MINUMAN

A.  Bagian Organisasi yang Terlibat dalam Prosedur Penerimaan Kas (Makanan dan Minuman)
a.Cashier Outlet mempunyai tanggung jawab penuh atas semua penerimaan outlet (outlet restaurant)
b.Night Audit bertanggung jawab atas kebenaran dan ketelitian pemasukan data penjualan tunai makanan dan minuman dalam satu hari.
c.Income Audit mempunyai tugas untuk mencocokkan semua hasil penjualan tunai makanan dan minuman dan mengkoreksi kembali pekerjaan night auditor.
d.General Cashier mempunyai tanggung jawab penuh atas semua penerimaan hasil penagihan yang dilakukan oleh collector dalam satu hari.
B.   Dokumen yang Digunakan Digunakan pada Prosedur Penerimaan Kas (Penjualan Makanan dan Minuman)
a.          Restaurant and Bar bill: mencatat transaksi penjualan makanan dan minuman yang dilakukan tamu dan sebagai bukti tagihan kepada tamu
b.          Restaurant and Bar Summary of  Sales: mencatat penjualan makanan dan minuman baik tunai maupun kredit pada masing-masing shift
c.          Remittance of Fund: merupakan amplop yang digunakan untuk melaporkan dan menyetorkan hasil penjualan pada hari itu
C.   Prosedur Penerimaan Kas Hasil Penjualan Makanan dan Minuman
a.          Pada akhir hari, semua kasir outlet memasukkan hasil penjualan beserta bukti pendukung dan pelaporannya ke dalam ROF, kemudian menitipkan ROF pada front office, yang selanjutnya akan di cek oleh night audit.
b.          Keesokan harinya, semua ROF diserahkan ke income audit yang akan melakukan pengecekan ulang, kemudian akan menyerahkan hasil penjualan yang berupa tunai, seperti uang, slip kartu kredit, bank note traveler chequw pada general cashier
c.          General Cashier akan mengecek kembali sesuai dengan laporan masing-masing outlet, kemudian mencatat dalam buku kas, mengarsipkan laporan masing-masing outlet sebagai bukti penerimaan kas, dan menyimpan atau menyetor uang ke bank.


3.PENERIMAAN KAS PADA PENGUMPULAN PIUTANG DARI TRAVEL AGENT

A.  Bagian Organisasi yang Terlibat dalam Prosedur Penerimaan Kas (Pengumpulan Piutang dari Travel Agent)
a.Account Receivable: mencatat penjualan kredit, dan menyiapkan faktur tagihan serta melakukan penagihan
b.Collector bertanggung jawab atas penagihan piutang ke travel agent.
c.General Cashier bertanggung jawab penuh atas semua penerimaan semua hasil penagihan piutang yang dilakukan oleh collector dalam satu hari.
B.  Dokumen yang Digunakan pada Prosedur Penerimaan Kas (Pengumpulan Piutang dari Travel Agent)
a.Guest bill
b.Reservation Form
c.Agent Voucher
d.Invoice
e.Cash Receipt
C.  Prosedur Penerimaan Kas Hasil Penjualan Pengumpulan Piutang dari Travel Agent
a.Account Receivable akan memantau umur piutang dari agen sesuai jatuh temponya, saat tiba waktunya untuk melakukan penagihan, Account Receivable akan menyiapkan daftar penagihan piutang beserta bukti pendukungnya (invoice, guest bill, agent voucher, dll), dan menyiapkan cash receipt.
b.Account Receivable akan meminta persetujuan dari head department, kemudian akam member data tersebut kepada collector untuk melakukan penagihan kepada agen.
c.Hasil penagihan piutang akan diserahkan kepada collector pada general cashier, yang akan mencatat pada penerimaan kas. Dan kemudian Collector akan menginformasikan pada Account Receivable, yang mencatat pada kartu piutang agen.

4.PENERIMAAN KAS PADA PENERIMAAN UANG MUKA

A.  Bagian Organisasi yang Terlibat dalam Penerimaan Uang Muka
a.Reservation menerima reservasi dari tamu yang datang langsung atau melalui travel agent.
b.Front Office cashier bertugas menerima dan melaporkan setiap pembayaran tamu.
c.Night Audit bertanggung jawab atas kebenaran dan ketelitian pemasukan data uang muka dalam satu hari.
d.Income Audit mempunyai tugas untuk mencocokkan semua hasil penerimaan uang muka dari tamu dan mengkoreksi kembali pekerjaan night auditor.
e.General Cashier mempunyai tanggung jawab penuh atas semua penerimaan uang muka dari tamu dalam satu hari.
B.  Dokumen yang Digunakan pada Prosedur Penerimaan Kas (Penerimaan Uang Muka)
    1. Cash Receipt
    2. Reservation Form
C.  Prosedur Penerimaan Kas pada Penerimaan Uang Muka
a.Suatu agen membayar uang muka untuk tamu-tamunya pada saat reservasi, pembayaran uang muka tersebut akan diterima oleh front office cashier, dengan membuatkan cash receipt dilampiri reservation form, kemudian melaporkannya pada room sales recapitulation dan memasukkannya dalam ROF bersama-sama dengan hasil penjualan kamar lainnya.
b.Agen tersebut akan menerima cash receipt asli, yang nantinya akan dipakai untuk memperhitungkan kekurangan pembayarannya setelah tamu dari agen tersebut menggunakan fasilitas hotel.
c.Pada esok harinya, General Cashier akan menerima uang muka tersebut dan mencatatnya sebagai penerimaan kas. Kemudian General Cashier akan menginformasikan pada Account Receivable akan adanya pembayara uang muka tersebut.

D.  Laporan Yang Dihasilkan
Genereal Cashier Summary, yang merupakan laporan yang dibuat oleh General Cashier pada akhir periode yang berisi semua penerimaan kas.

 Sumber:

http://dexsuar.wordpress.com