Rabu, 23 Juli 2014

Pencatatan Akuntansi Pemerintah dengan Jurnal Korolari

Ketika melakukan pencatatan akuntansi, basis akuntansi dan fokus pengukuran merupakan dua hal yang penting. Basis akuntansi menentukan kapan transaksi dan peristiwa yang terjadi diakui atau dicatat, sedangkan fokus pengukuran menentukan aset atau kewajiban apa saja yang akan diakui dalam neraca. Kedua hal ini juga saling berkaitan. Ketika basis kas dipilih, maka transaksi dicatat pada saat kas diterima dan dibayarkan sehingga hanya akun kas dan ekuitas yang dilaporkan dalam Neraca. Lain halnya ketika basis akrual yang digunakan, transaksi akan dicatat jika secara ekonomi telah terjadi, tanpa harus menunggu kas diterima atau dibayarkan. Akibatnya, dengan basis akrual ini, akun-akun yang dilaporkan dalam Neraca tidak sebatas akun kas saja, namun semua sumber daya yang dimiliki, utang, dan ekuitas.



Keunggulan penggunaan basis akrual ini adalah informasi yang disajikan dalam Neraca akan lebih komprehensif karena mempresentasikan seluruh sumber daya yang dimiliki entitas. Sayangnya, basis akrual sepenuhnya ini belum bisa diterapkan oleh semua entitas akuntansi. Entitas pemerintah merupakan entitas yang memiliki karakteristik unik dalam basis akuntansinya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yang mengatur Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), basis akuntansi yang digunakan entitas pemerintah adalah basis kas menuju akrual (cash toward accrual). Dengan basis ini, aset, kewajiban, dan ekuitas dana dicatat dengan berbasis akrual sedangkan komponen Laporan Realisasi Anggaran seperti pendapatan, belanja, dan pembiayaan dicatat dengan basis kas.

Konsekuensi dari penggunaan basis kas menuju akrual ini adalah dibutuhkannya penggunaan jurnal korolari. Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan memberikan bagaimana jurnal korolari ini digunakan.

Contoh pertama, misalnya terjadi transaksi pembelian kendaraan senilai 100.000.000 secara tunai. Karena segala pengeluaran yang melibatkan kas harus disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran dengan basis kas, maka transaksi ini akan dicatat dengan cara:

Dr. Belanja Kendaraan
Rp100.000.000
Cr. Kas
Rp 100.000.000

Belanja kendaraan merupakan akun nominal yang akan disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, sedangkan kas merupakan akun riil yang akan disajikan dalam Neraca. Akibatnya, apabila hanya jurnal tersebut yang dibuat, maka hanya akun kas yang disajikan sebagai bagian aktiva Neraca. Padahal, menurut SAP, Neraca pemerintah harus disajikan dengan basis akrual atau memperesentasikan semua sumber daya yang dimiliki dan tidak terbatas kas saja. Karena itulah, dibutuhkan jurnal tambahan yaitu jurnal korolari sebagai solusi penerapan basis kas menuju akrual ini. Masih mengacu pada transaksi di atas, maka pencatatan yang sebaiknya adalah:

Dr. Belanja Kendaraan
Rp. 100.000.000
Cr. Kas
Rp. 100.000.000


Jurnal Korolari:

Dr. Kendaraan
Rp. 100.000.000
Cr. Ekuitas dana yang diinvestasikan dalam aset tetap
Rp. 100.000.000

Dengan adanya jurnal korolari, belanja kendaraan telah sesuai dicatat dengan basis kas dan disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Disisi lain, Neraca telah disajikan dengan basis akrual karena mempresentasikan semua sumber daya yang dimiliki dimana akun yang disajikan dalam Neraca tidak hanya kas dan ekuitas dana, tetapi juga aset tetap seperti kendaraan.

Contoh lain, misalnya Pemerintah Daerah melakukan pinjaman kepada Pemerintah Pusat sebesar Rp 50.000.000 yang akan jatuh tempo dalam lima tahun mendatang dengan bunga pinjaman 10% per tahun. Pembayaran bunga dilakukan setiap tahun pada tanggal 15 januari. Jurnal yang akan dibuat pada akhir tahun berdasarkan basis akrual adalah pengakuan utang bunga yaitu sebesar Rp 5.000.000 (10%*Rp50.000.000). Jurnalnya sebagai berikut:
Jurnal Korolari:

Dr. Ekuitas dana yang harus disediakan untuk pembayaran bunga
Rp 5.000.000
Cr. Utang bunga
Rp 5.000.000
Sedangkan jurnal yang dibuat ketika pembayaran bunga (15 Januari) adalah:
Dr. Belanja bunga
Rp 5.000.000
Cr. Kas
Rp 5.000.000
Dr. Utang bunga
Rp 5.000.000
Cr. Ekuitas dana yang harus disediakan untuk pembayaran bunga
Rp 5.000.000

Pencatatan transaksi tersebut telah sesuai dengan SAP karena telah menyajikan akun Neraca dengan basis akrual dan menyajikan akun Laporan Reliasasi Anggaran dengan basis kas.

Maka dapat disimpulkan, jurnal korolari ini penting supaya transaksi yang melibatkan akun riil selain kas bisa tetap disajikan dalam Neraca dan disisi lain komponen Laporan Realisasi Anggaran seperti pendapatan, belanja, dan pembiayaan tetap dapat pula disajikan.


*Sumber: Noerdiawan, Dedi. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta.


Oleh: Aisyah Dian Pratiwi, S.E.
PPA FEUI



Senin, 21 Juli 2014

Pengertian Akuntansi Manajemen

Akuntansi manajemen adalah salah satu bidang akuntansi yang tujuan utamanya adalah menyajikan laporan-laporan sebagai satu satuan usaha untuk kepentingan pihak internal dalam rangka melaksanakan proses manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian.



Akuntansi Manajemen merupakan akuntansi yang bertujuan menghasilkan informasi keuangan untuk kepentingan manajemen (pihak intern perusahaan) dalam usaha mencapai tujuan perusahaan (Rita Eni Purwanti & Indah Nugraheni). Informasi tersebut diperlukan oleh manajemen untuk bahan pertimbangan pengambilan keputusan manajemen serta melihat/menilai hasil-hasil yang sudah diperolah suatu perusahaan.

Akuntansi Manajemen adalah proses pengidentifikasi, mengukur dan melaporkan informasi ekonomi keuangan, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi manajemen yang menggunakan informasi tersebut di mana titik sentralnya untuk pihak-pihak di dalam organisasi perusahaan. Misalnya :  Kalkulasi biaya produk, Kalkulasi biaya suatu aktivitas, Kalkulasi biaya suatu department.


Pengertian Akuntansi Manajemen menurut ahli

Menurut Halim dan Supomo (2000 : 3) menyatakan bahwa akuntansi manajemen adalah Suatu kegiatan ( proses ) yang menghasilkan informasi keuangan bagi manajemen untuk pengambilan keputusan ekonomi dalam melaksanakan fungsi manajemen.

Sedangkan menurut Mulyadi (2001 : 2) menyatakan bahwa pengertian akuntansi manajemen adalah informasi keuangan yang merupakan keluaran yang dihasilkan oleh tipe akuntansi manajemen, yang dimanfaatkan terutama oleh pemakai intern organisasi.

Akuntansi manajemen sebagai suatu sistem pengolahan informasi keuangan dimaksudkan sebagai suatu proses pengolahan informasi untuk memenuhi kebutuhan manajemen dalam melaksanakan fungsi perencanaan, koordinasi dan pengendalian organisasi. Sedangkan akuntansi manajemen sebagai suatu tipe informasi dimaksudkan sebagai penggambaran informasi yang dihasilkan oleh pengolahan informasi keuangan. Informasi marupakan suatu fakta, data pengamatan, persepsi atau sesuatu yang lain yang menambah pengetahuan. Informasi diperlukan manusia untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan selalu menyangkut masa yang akan datang, yang mengandung ketidakpastian, dan selalu menyangkut pemilihan suatu alternative tindakan diantara sekian banyak alternative yang tersedia.




Sumber: Ilmu Akuntansi

Jumat, 18 Juli 2014

Pemeriksaan Pajak

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
  3. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  4. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
  5. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
  6. Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah tanda pengenal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang merupakan bukti bahwa orang yang namanya tercantum pada kartu tanda pengenal tersebut sebagai Pemeriksa Pajak.
  7. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak.
  9. Data yang dikelola secara elektronik adalah data yang bentuknya elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media penyimpanan elektronik lainnya.
  10. Penyegelan adalah tindakan menempelkan kertas segel dalam rangka Pemeriksaan pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain, yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau sumber penghasilan Wajib Pajak yang diperiksa.
  11. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) yang untuk selanjutnya disebut Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
  12. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan adalah surat yang berisi tentang hasil Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
  13. Tim Quality Assurance Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.
  14. Kertas Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  15. Penghasilan Kena Pajak Yang Tidak Dapat Dihitung adalah Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak dengan prosedur sesuai dengan standar pelaksanaan Pemeriksaan.
  16. Laporan Hasil Pemeriksaan adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Pemeriksaan.
  17. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan masa/tahun pajak.
  18. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  19. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.









Sumber: www.pajak.go.id

Kamis, 17 Juli 2014

Apa Itu Harga Transfer (Transfer Pricing)?

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  3. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
  4. Kriteria-kriteria sebagaimana dimaksud di atas, termasuk diantaranya penentuan metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
  5. Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
  6. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
  7. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
  8. Penentu Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
  9. Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.




Sumber: www.pajak.go.id

Rabu, 16 Juli 2014

Hak-Hak Wajib Pajak

Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai berbagai hak-hak Wajib Pajak.




HAK ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara:
  1. melalui Surat Pemberitahuan (SPT)
  2. dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan

HAK KERAHASIAAN BAGI WAJIB PAJAK
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain:
  1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
  2. Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
  3. Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

HAK UNTUK PENGANGSURAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

HAK UNTUK PENUNDAAN PELAPORAN SPT TAHUNAN
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.

HAK UNTUK PENGURANGAN PPh PASAL 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

HAK UNTUK PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota/kabupaten setempat.

HAK UNTUK PEMBEBASAN PAJAK
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.

HAK PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.

HAK UNTUK MENDAPATKAN PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

HAK UNTUK MENDAPATKAN INSENTIF PERPAJAKAN
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.

Sumber: www.pajak.go.id

Jumat, 11 Juli 2014

Tarif PPh Atas Komisi Penjualan

PT Cell Indonesia Distributor merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha perdagangan, pemasaran dan distribusi handphone dengan merek "Celli" melalui distributor yang meliputi wilayah pemasaran seluruh Indonesia. Dalam bulan September 2011, PT Cell Indonesia Distributor memberikan diskon sebesar Rp. 20 juta kepada PT Bagusphone atas pembelian pada bulan September 2011 sebesar Rp. 200 juta. Dalam diskon dimaksud dicantumkan sebagai pengurang harga penjualan baik pada invoice penjualan maupun Faktur Pajak Keluaran.



Dalam rangka meningkatkan volume penjualan, berdasarkan perjanjian kerjasama antara pihak PT Cell Distributor Indonesia dengan PT Bagusphone, disepakati bahwa PT Cell Indonesia Distributor memberikan komisi penjualan berupa tambahan diskon/rabat kepada PT Bagusphone berdasarkan pencapaian target tertentu yang telah ditetapkan.

Penjualan handphone PT Bagusphone bulan September 2011 telah memasuki target, sehingga pada tanggal 25 Oktober 2011 PT Cell Indonesia Distributor memberikan komisi penjualan berupa tambahan diskon sebesar Rp. 25 juta. Bagaimanakah kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?

Mengingat komisi penjualan berupa tambahan diskon/rabat tersebut:
  1. diterima oleh Wajib Pajak Badan (PT Bagusphone);
  2. merupakan penghargaan atas pencapaian target penjualan; maka atas pembayaran komisi penjualan tersebut termasuk dalam pengertian penghargaan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dilakukan pemotongan oleh PT Cell Indonesia Distributor.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar:
=15% x Rp. 25 juta = Rp. 3.750.000,-
Kewajiban PT Cell Indonesia Distributor sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp. 3.750.000,- dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Bagusphone;
  2. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal 10 November 2011;
  3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Oktober 2011 paling lambat tanggal 21 November 2011.
Sumber: www.pajak.go.id

Kamis, 10 Juli 2014

Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB

Pengertian
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang.



Hak Wajib Pajak
  1. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau tempat lain yang ditunjuk.
  2. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.
  3. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP, atau KP2KP.
  4. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).
  5. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
  6. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.
Kewajiban Wajib Pajak
  1. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.
  2. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:

    1. Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir;
    2. Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
    3. Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.
  3. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP Pratama atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.
  4. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama atau KP2KP setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
Sanksi
  1. Sanksi Administrasi

    1. Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.
    2. Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.
  2. Sanksi Pidana

    1. Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
    2. Barang siapa karena dengan sengaja:

      1. tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
      2. menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
      3. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolaholah benar;
      4. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
      5. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
      sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang.
Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana huruf iv dan huruf v, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,-.


Sumber: www.pajak.go.id

Selasa, 08 Juli 2014

Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan



Pengertian
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak dalam hal :
  1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subyek Pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :

    1. Objek Pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;
    2. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jual Objek Pajak per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan;
    3. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
    4. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
    5. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/dudanya;
    6. Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada Tahun Pajak sebelumnya, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
  2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya) atau sebab-sebab lain yang luar biasa (kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman).

Besarnya Pengurangan
  1. Sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang untuk kondisi tertulis sebagaimana dimaksud dalam nomor 1 huruf a angka 5 di atas.
  2. Sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dalam nomor 1 huruf a angka 1, 2, 3, 4, dan 6 di atas.
  3. Sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dalam 1 huruf b di atas.
Cara Pengajuan Permohonan
  1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP).
  2. Isi surat permohonan menyebutkan prosentase pengurangan yang dimohonkan
  3. Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :

    1. Untuk ketetapan PBB diajukan oleh perseorangan dan untuk PBB yang tercantum dalam SPPT diajukan oleh perseorangan atau kolektif.
    2. Dokumen pendukung untuk permohonan pengurangan PBB oleh WP secara perseorangan :
      • Angka 1 huruf a.1. berupa surat pernyataan dari Wajib Pajak; fotokopi Kartu Keluarga; fotokopi rekening tagihan listrik, air, dan/atau telepon; fotokopi bukti pelunasan PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan/atau dokumen pendukung lainnya.
      • Angka 1 huruf a.2. berupa surat pernyataan dari Wajib Pajak; fotokopi SPPT tahun sebelumnya; fotokopi Kartu Keluarga; fotokopi rekening tagihan listrik, air, dan/atau telepon; fotokopi bukti pelunasan PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan/atau dokumen pendukung lainnya.
      • Angka 1 huruf a.3. berupa fotokopi surat keputusan pensiun; fotokopi slip pensiunan atau dokumen sejenis lainnya; fotokopi Kartu Keluarga; fotokopi rekening tagihan listrik, air, dan/atau telepon; fotokopi bukti pelunasan PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan/atau; dokumen pendukung lainnya.
      • Angka 1 huruf a.4. berupa surat pernyataan dari Wajib Pajak; fotokopi Kartu Keluarga; fotokopi rekening tagihan listrik, air, dan/atau telepon; fotokopi bukti pelunasan PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan/atau dokumen pendukung lainnya.
      • Angka 1 huruf a.5. berupa fotokopi Kartu Tanda Anggota Veteran, atau fotokopi Surat Keputusan tentang Pengakuan, Pengesahan, dan Penganugerahan Gelar Kehormatan dari pejabat yang berwenang; fotokopi bukti pelunasan PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan/atau dokumen pendukung lainnya.
    3. Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi :
      • SPPT/SKP PBB tahun yang dimohonkan;
      • SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelumnya;
      • STTS tahun pajak terakhir atau struk ATM/Counter Teller pembayaran PBB;
      • Laporan keuangan perusahaan;
      • Dokumen pendukung lainnya;
    4. Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman, dan sebab lain yang luar biasa dan bersifat kolektif diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan diketahui oleh Camat dengan mencantumkan namanama Wajib Pajak yang dimohonkan pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
  4. Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 bulan sejak SPPT/SKP diterima WP atau sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
  5. Pengurangan secara kolektif diajukan sebelum SPPT diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan.
  6. Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya tidak diproses, dan Kepala Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan seperlunya.

Bentuk Keputusan
Keputusan atas permohonan pengurangan besarnya PBB yang diajukan WP dapat berupa :
  • mengabulkan seluruh permohonan;
  • mengabulkan sebagian atau;
  • menolak.
Sumber: www.pajak.go.id

Senin, 07 Juli 2014

Keberatan Atas Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Alasan Pengajuan Keberatan
  1. Dalam hal Wajib Pajak (WP) merasa SPPT/SKP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, mengenai : luas Objek Pajak bumi dan/atau bangunan; dan/atau nilai jual objek pajak bumi dan/atau bangunan tidak sebagaimana mestinya.
  2. Perbedaan penafsiran Undang-undang antara WP dan Pegawai Pajak.


Persyaratan Pengajuan Keberatan
Untuk dapat dipertimbangkan sebagai permohonan keberatan, pengajuan keberatan harus memenuhi syarat formal sebagai berikut :
  1. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP oleh WP.
  2. Dalam hal keadaan terpaksa (force majeur) WP harus dapat memberikan dan membuktikan alasan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi.
  3. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  4. Diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang menerbitkan SPPT/SKP;
  5. Dalam hal dikuasakan kepada pihak lain harus melampirkan surat kuasa;
  6. Diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan kecuali yang diajukan secara kolektif melalui Lurah/Kepala Desa setempat untuk setiap SPPT/SKP per tahun pajak;
  7. Mengemukakan alasan yang jelas dan mencantumkan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan menurut perhitungan WP.
Pengajuan Keberatan Tidak Menunda Kewajiban Membayar Pajak dan Pelaksanaan Penagihan Pajak
Meskipun WP mengajukan keberatan, kewajiban pembayaran pajak tetap harus dilaksanakan dan penagihan tetap berjalan sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Keputusan Keberatan
Keputusan keberatan atas SPPT/SKP berupa:
  1. Menolak, apabila permohonan keberatan WP memenuhi persyaratan formal atau formal dan material, dan setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan bahwa alasan yang diajukan oleh wajib pajak tidak tepat atau tidak benar.
  2. Menerima seluruhnya atau sebagian, apabila alasan WP sesuai dengan data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dan diterima seluruhnya berdasarkan perhitungan WP, atau atas perintah Undang-undang. menerima sebagian, apabila sebagian alasan WP sesuai dengan data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
  3. Tidak dapat diterima, apabila permohonan keberatan WP tidak memenuhi persyaratan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nmor KEP-59/PJ.6/2000.
  4. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh perhitungan yang menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
Lain-Lain
  1. Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan sampai dengan Rp 100.000,00 dapat diajukan secara perseorangan ataupun kolektif melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan.
  2. Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan di atas Rp 100.000,00 harus diajukan oleh WP secara perseorangan.
  3. KPP Pratama setelah menerima Surat Keberatan dari WP memberikan tanda terima.
  4. Tanda terima dari KPP Pratama/tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat/sejenisnya merupakan tanda bukti bagi kepentingan WP.
Sumber: www.pajak.go.id

Jumat, 04 Juli 2014

Pengajuan dan Penyelesaian Banding Pajak Bumi dan Bangunan

Pengertian
Wajib Pajak (WP) yang masih tidak sependapat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatannya, dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak (PP).



Tata Cara Pengajuan Banding
  1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memuat alasan yang jelas;
  2. Permohonan banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keputusan atas Keberatan oleh WP;
  3. Permohonan banding harus dilampiri foto kopi Surat Keputusan atas Keberatan.
Bentuk Putusan Banding
Putusan banding dapat berupa :
  • menolak;
  • mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
  • menambah jumlah PBB yang harus dibayar;
  • tidak dapat diterima;
  • membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, dan/atau;
  • membatalkan.
Imbalan Bunga
Apabila pengajuan permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran (bila ada)dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak pembayaran dilakukan sampai dengan tanggal diterbitkannya (diucapkan di muka umum) Putusan untuk selama-lamanya 24 bulan.

Lain-lain
Atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Sumber: www.pajak.go.id

Rabu, 02 Juli 2014

Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Pendaftaran Objek dan Subjek PBB



Pendaftaran objek PBB dilakukan oleh subjek pajak dengan cara mengambil dan mengisi formulir SPOP secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan dikembalikan ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan atau tempat yang ditunjuk untuk pengambilan dan pengembalian SPOP dengan dilampiri bukti-bukti pendukung seperti :
  • sketsa/denah objek pajak;
  • fotokopi KTP dan NPWP;
  • fotokopi sertifikat tanah;
  • fotokopi akta jual beli;
  • atau bukti pendukung lainnya.
Formulir SPOP disediakan dan dapat diambil gratis di Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditunjuk atau melalui teknologi internet dengan mencetak langsung dari tautan ini.
Pendataan Objek dan Subjek PBB
Pendataan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak denganmenggunakan formulir SPOP dan dilakukan sekurangkurangnya untuk satu wilayah administrasi desa/kelurahan.
Pendataan dapat dilakukan dengan cara:
  1. Penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP:
    Dapat dilaksanakan pada daerah/wilayah yang pada umumnya belum/tidak mempunyai peta, daerah terpencil atau potensi PBB relatif kecil.
  2. Identifikasi Objek Pajak
    Dapat dilaksanakan pada daerah/wilayah yang sudah mempunyai peta garis/ peta foto yang dapat menentukan posisi relatif OP tetapi tidak mempunyai data administrasi PBB tiga tahun terakhir secara lengkap.
  3. Verifikasi Objek Pajak
    Dapat dilaksanakan pada daerah/wilayah yang sudah mempunyai peta garis/peta foto yang dapat menentukan posisi relatif OP dan mempunyai data administrasi PBB tiga tahun terakhir secara lengkap.
  4. Pengukuran Bidang Objek Pajak
    Dapat dilaksanakan pada daerah/wilayah yang hanya mempunyai sket peta desa/kelurahan dan atau peta garis/peta foto tetapi belum dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif OP.
Sanksi
Barangsiapa karena kealpaannya :
  1. tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
  2. menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
Sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.

Barangsiapa dengan sengaja :
  1. tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
  2. menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
  3. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
  4. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
  5. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
Sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang.

Sumber: www.pajak.go.id