Jumat, 30 Mei 2014

Darurat Otonomi Pajak?

Label atau status sebagai negara makmur sudah cukup lama negeri ini nikmati, sejak dulu pada dekade 1970an ketika harga minyak melambung tinggi. Dari situ kita lama tenggelam dalam euforia kenyamanan sampai akhirnya kenyataan membuat kita sadar bahwa era kejayaan itu sudah lewat dan seperti halnya sebagian besar negara di dunia, sumber keuangan bagi berjalannya negara ini berasal justru dari kita sendiri yaitu dari uang pajak yang kita bayarkan. Mari kita renungkan dengan jujur, setidaknya masa lima tahun belakangan ini, ketika era partai Demokrat berhasil memenangkan Pemilu Legislatif dengan perolehan ajaib di angka 20,68% ditambah pula pesona Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil menghantarkannya sebagai Presiden RI yang disebut- sebut paling demokratis. Saat itu kita dilambung harapan akan kehidupan yang lebih baik yang kiranya dapat dihadirkan sang pemenang pesta demokrasi.



Tapi yang kemudian kita saksikan adalah sederetan cerita tak sedap tentang kegagapan pemerintah menciptakan program yang pro job, pro growth dan pro poor. Itulah faktanya dan setidaknya mari berhenti menghujat pemerintah dengan alasan maraknya praktik lancung khas birokrasi yang kerap menghias layar televisi. Bangsa ini ada disatu titik dimana ketidakhadiran kesejahteraan disebabkan oleh ketidakjujuran yang berlangsung masif dan kolektif. Oleh karena itu perbaikan pun harus dilakukan semua pihak disegala lini meski perlahan tetapi arahnya sama. Tidak banyak dari kita yang paham bahwa sebetulnya, itikad kuat tentu sudah ada dari pemerintah yang dapat kita lihat dari beberapa program yang berorientasi pada kesejahtaraan dan pemerataan, sebut saja MP3EI, PNPM Mandiri, JKN dan Beasisw LPDP. Namun semua program itu membutuhkan dana agar bisa berjalan lancar dan kontinyu. Bahwa kemudian di lapangan ada oknum yang main sunat dalam penggunaanya, itu cerita lain yang bukan ranah artikel ini. Pemahaman bersama yang perlu ditumbuhkan adalah bahwa dibutuhkan kebebasan ruang gerak fiskal didalam struktur APBN untuk dapat menjamin keberlangsungan semua program itu.

Permasalahan yang kita hadapi dewasa ini mengarah pada satu kenyataan bahwa pajak yang menjadi hampir 80% sumber APBN jumlahnya selalu shortfall alias tidak tercapai sementara tuntutan kebutuhan meningkat. Kebutuhan tersebut meliputi semua aspek kepentingan mulai dari sosial, ekonomi, politik dan hankam. Kita ambil contoh dari sisi ekonomi, dibutuhkan penambahan jumlah belanja modal yang besar untuk membiayai infrastruktur yang dapat memangkas jalur distribusi dan biaya ekonomi tinggi. Disaat yang sama di sisi hankam dibutuhkan tambahan anggaran untuk menopang Alutsista yang dibutuhkan ABRI dalam menjalankan tugas. Semua tuntutan itu berhadapan dengan terbatasnya kemampuan negara dalam menyediakan uang untuk mendanainya.
Bila dilakukan telaah mendalam, dapat kita temui dua penyebab kurang optimalnya pencapaian penerimaan negara dari pajak yaitu kurangnya basis pengenaan pajak dan lemahnya penegakan hukum perpajakan. Telaah kritis atas kedua penyebab tersebut merupakan keharusan untuk mencari solusi demi mengoptimalkan pengumpulan uang negara yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Basis Pajak Minim

Bukti nyata atas opini tersebut dapat kita jumpai pada keadaan bahwa jumlah Wajib Pajak yang menjadi basis pengenaan pajak di negeri ini sangat timpang dengan jumlah potensi yang seharusnya ada. Dengan potensi jumlah kelas menengah yang bertambah maka ada peluang untuk memperluas basis pemajakan yang ada (extensifikasi) dan sekaligus menggali lebih dalam potensi dari yang sudah terdaftar (intensifikasi). Ketika baru- baru ini sebanyak 19 orang Warga Negara Indonesia masuk dalam 1.645 orang terkaya dunia maka hal tersebut harus diiringi dengan evaluasi seberapa besar kontribusi pajak yang mereka bayarkan kepada negara. Harian Kompas edisi 07 Maret 2014 melansir data bahwa Rp150 Triliun potensi pajak dari sektor orang pribadi hilang dan ini mengindikasikan lemahnya basis data perpajakan yang menyasar sektor orang pribadi. Sementara itu disisi korporasi, fakta dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan pertambangan skala menengah keatas yang belum memiliki NPWP sementara aktivitas penambangan mereka telah berjalan beberapa waktu lamanya lewat IUP yang memiliki kekuatan legal, sebagaimana disebutkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa ada potensi penerimaan negara yang hilang dari keadaan ini.
Khususnya dari sektor Minerba, KPK melansir data bahwa Rp2,47 Triliun potensi penerimaan negara hilang akibat kurangnya pengawasan. Ini menunjukkan adanya IUP yang tidak terawasi aspek perpajakannya dan ini peluang untuk memperluas basis pemajakan. Tingginya kualitas dan kuantitas basis pemajakan akan meningkatkan tax ratio sebesar 4% untuk setiap penerimaan pajak Rp300 Triliun.

Penegakan Hukum Perpajakan Lemah

Rakyat Indonesia lebih takut tidak bayar listrik ke PLN daripada tidak membayar Pajak Penghasilan. Itu rahasia umum yang jamak berkembang selama ini. Anggapan tersebut merupakan akibat dari lemahnya penegakan sanksi hukum bagi mereka para wajib pajak yang selama ini tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Solusi atas hal ini harus dijalankan dari dua sisi yaitu dari sisi internal Direktorat Jenderal Pajak dan dari Wajib Pajak sendiri secara langsung, setidaknya sampai saat ini sebetulnya DJP telah dibekali dengan kekuatan yang diamanahkan Undang- Undang No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang- Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Namun kondisi terkini menunjukkan bahwa ragam praktik yang berkembang makin jauh meninggalkan ketentuan yang ada sehingga luput dari pengenaan sanksi. Sementara itu, harus diakui bahwa Wajib Pajak dapat dikatakan enggan taat pajak karena mereka melihat selama ini DJP kurang gagah dan bertaji dalam beraksi, tidak seperti KPK atau POLRI yang dilengkapi perangkat yang menampilkan citra tegas, DJP tidak memiliki image yang dapat menimbulkan kesan sebagai penegak hukum di bidang perpajakan. Penggalian potensi perpajakan yang dijalakan petugas pajak lebih banyak mental hanya pada selembar kertas himbauan yang kerap diabaikan wajib pajak. Pajak tidak disegani, gaung modernisasi yang selama ini dijalankan dapat dikatakan mengaum tanpa gaung.

Otonomi Sebuah Solusi

DJP memang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kementerian Keuangan, aparatnya adalah PNS yang terikat pada seperangkat aturan Pegawai Negeri Sipil. Pun begitu juga dalam menjalankan tugas, semua kebijakan yang ada harus dikoordinasikan dengan beberapa lapis birokrasi yang kerap berbenturan dengan banyak kepentingan sehingga banyak inovasi atau terobosan yang selama ini potensial justru layu sebelum berkembang. Kondisi ini menarik untuk dicermati lebih dalam, terlebih kita ketahui bahwa dengan tugas yang makin berat seharusnya rintangan yang muncul ditataran birokrasi tidak perlu lagi terjadi. Tugas berat DJP mengumpulkan uang bagi negara harus diletakkan diatas kepentingan apapun. DJP patut diberi kewenangan lebih untuk merumuskan inovasi dan langkah demi menjalankan tugas dan pertanggungjawabannya pun tidak perlu berbenturan dengan pihak yang peran dan tanggung jawabnya tidak sekrusial DJP. Artinya pertanggungjawaban DJP langsung ke Presiden. Ini penting sebab dengan kemandirian dalam merumuskan kebijakan akan dapat berdampak langsung terhadap penegakan hukum perpajakan dalam rangka memberi efek jera para pengemplang pajak dan oknum internal DJP sendiri. Perluasan basis pengenaan pajak pun dapat dirumuskan dengan fokus semata untuk mencari penerimaan negara tanpa dibebani benturan kepentingan yang kadang justru muncul dari instansi lain. Selain itu, dengan menjadi mandiri DJP akan dapat mengetahui langkah apa yang diperlukan dalam rangka menjalankan tugas dengan optimal, terutama dalam hal tata kelola SDM (formasi dan kebutuhan tenaga). Selama ini DJP dibatasi dalam hal penambahan personel padahal banyak studi yang dipaparkan menunjukkan ketimpangan rasio petugas pajak dengan wajib pajak yang diawasi.

DJP dapat diibaratkan sebagai tumpuan negeri ini dalam rangka mewujudkan cita- cita menjadi negara sejahtera, yang benar- benar sejahtera, seperti yang sempat dinikmati dulu sekitar 3 dekade yang lalu. Sudah sepantasnya DJP diberi kekuatan agar amanah tersebut dapat terlaksana. Demi terwujudnya penerimaan negara yang optimal sehingga menghasilkan kebebasan ruang gerak fiskal bagi APBN untuk dikelola lebih luas yang berujung kesejahteraan dan pemerataan. Semoga.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Oleh Erikson WIjaya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber: www.pajak.go.id

Kamis, 29 Mei 2014

Harga Pasar Wajar atau NJOP

Terhitung sejak 1 Januari 2014 kemaren, DJP telah menyerahkan semua wewenang dan tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) kepada pemerintah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia sebagaimana amanat UU PDRD. Dengan demikian penetapan Nilai Jual Objek Pajak juga telah menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Sementara dalam prakteknya, pemutakhiran data NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di berbagai wilayah pemerintah daerah yang tahun-tahun sebelumnya sudah melaksanakan pemungutan PBB P2 hampir dipastikan atau sebagian besar tidak dilakukan padahal pada masa dibawah wewenang DJP, NJOP sebagai patokan harga pasar suatu nilai properti belum sepenuhnya mendekati assessment sales ratio yang ideal.



Bisa dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar antar daerah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan dengan potensi PPh maupun PPN yang terutang atas transaksi properti maka akan menjadi suatu potential loss yang besar bagi penerimaan pajak. Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi properti terdapat pajak yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara untuk PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah NJOP, maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Sementara itu jika melihat perkembangan pasar properti di Indonesia, bisnis ini terus tumbuh seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau perkantoran.
Bisa dilihat secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan perumahan, ruko atau rukan sangat pesat. Geliat pertumbuhan investasi di sektor properti tidak hanya terjadi di Jabodetabek saja. Banyak daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor propertinya mulai berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa kurang dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal turut berperan sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan menjadi negara dengan nilai kontribusi industri properti terbesar ke tujuh di dunia, mengalahkan Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI menyebutkan bahwa nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang tahun 2013 menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun 2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak dari sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan pertumbuhan sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Dengan kenyataan ini, maka penerimaan pajak dari sektor properti menjadi relevan untuk tetap diperhatikan oleh DJP dalam rangka menyumbang pengamanan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan banyak transaksi properti yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar pengenaan pajak yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.

Dapat dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900 juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp. 240 juta. Dengan berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi dalam pencantuman angka transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 300 juta. Kecenderungan tersebut adalah karena baik penjual maupun pembeli properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT, biaya pengurusan sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada loss sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap antara NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga tidak mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa transaksi yang wajar atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta. Sementara itu jika mengandalkan pemerintah daerah kabupaten atau kota untuk terus menjaga atau meng-update NJOP yang mendekati harga pasar wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat sumber daya pemerintah daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti masih kurang.

Dapat dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun PPN dari transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2 terjadi stagnan dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara pertumbuhan pasar properti yang selalu meningkat berikut kenaikan harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP perlu segera merumuskan kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi properti yaitu nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak hanya berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar wajar ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri Keuangan tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB yang dulu lebih dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam SK Klasifikasi yang bisa diberi nama SK Indikasi Nilai Pasar Wajar Properti atau apapun namanya, paling tidak berisikan informasi atau patokan zona-zona nilai tanah terutama di wilayah-wilayah pengembangan pembangunan suatu kota atau kabupaten.

Selain zona nilai tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan (properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut juga bisa langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah, rumah, apartemen, ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap perlu sebagai acuan dalam mengoreksi kepatutan harga atas transaksi properti atau real estate tertentu. Nilai suatu bangunan juga sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu indikasi nilai biaya pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam pengenaan PPN kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan (KEP-533/PJ/2000). Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi nilai sewa wajar atas properti pada setiap zona sebagai instrument yang mendukung untuk menentukan besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan.

Dengan mengoptimalkan tenaga Fungsional Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu meng-update nilai pasar wajar properti yang mana informasi data harga pasar suatu properti sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media, jual-beli online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan instrumen SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi jual-beli properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan kewajiban PPh maupn PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak pada sektor properti yang terus berkembang. Instrumen ini juga dapat memberikan kepastian hukum ataupun akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang dapat menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.

Dengan instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai tertentu pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai rentang nilai yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan adalah bahwa tidak menutup kemungkinan instrumen tersebut digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebagai acuan dalam penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 maupun BPHTB sehingga dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah tersebut. Manfaat lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan seimbang baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa adil bagi masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan tingkat partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Sumber: www.pajak.go.id

Selasa, 27 Mei 2014

Sistem Penomoran Baru Dalam Pembuatan Faktur Pajak

Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan kenyamanan kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat.

Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.

Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.

Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).

Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
  1. Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
  2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
  3. Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
  4. Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
  5. Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
  6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
  7. Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
www.pajak.go.id

Senin, 26 Mei 2014

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut:


  1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. penghasilan berupa hadiah undian;
  3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  5. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2)
  1. Koperasi;
  2. Penyelenggara kegiatan;
  3. Otoritas bursa; dan
  4. Bendaharawan;
Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)
  1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. Penerima hadiah undian;
  3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
  4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
Lain-Lain
  1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
  2. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan;
  3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final.
Sumber: www.pajak.go.id

Sabtu, 24 Mei 2014

Apa itu Pajak Pertambahan Nilai (PPn)?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.



Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.

Besarnya PPN yang harus dibayar adalah 10% dari harga jual. Misalnya harga jual komputer Rp4.000.000,00, maka PPN-nya adalah 10% x Rp4.000.000,00 = Rp400.000,00, sehingga total harganya menjadi Rp4.400.00,00. Biasanya, barang yang dijual terdapat tulisan “harga barang sudah termasuk PPN”.

Siapa saja yang wajib membayar PPN?

Setiap orang atau badan usaha di Indonesia yang membeli Barang Kena Pajak dan memanfaatkan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean, diwajibkan membayar PPN.

Dimana kita sebaiknya membeli barang yang terutang PPN?

Belilah barang pada pengusaha yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah ditunjuk Kantor Pelayanan Pajak untuk memungut PPN.

Apakah membeli barang bajakan atau selundupan terutang PPN?

Penjual barang bajakan atau barang selundupan tidak membayar PPN. Dengan demikian orang pribadi atau badan usaha yang membeli barang bajakan atau barang selundupan sama dengan menghindari kewajiban membayar PPN yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang PPN.

Bagaimana kalau kita membeli barang bajakan atau barang selundupan?

Membeli barang bajakan atau barang selundupan berarti tidak membayar PPN. Tidak membayar PPN berarti mengurangi jumlah penerimaan negara dan secara otomatis akan mengurangi anggaran untuk membangun fasilitas umum, membantu rakyat miskin, membantu murid SD dan SMP Negeri melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan membantu peningkatan kesejahteraan rakyat serta biaya-biaya lainnya yang manfaatnya dirasakan seluruh rakyat Indonesia.

Sumber: www.pajak.go.id

Jumat, 23 Mei 2014

Sistem Akuntasi

Metode dan prosedur untuk mencatat dan melaporkan informasi keuangan yang disediakan bagi perusahaan atau suatu organisasi bisnis disebut sistem akuntansi. Sistem akuntansi yang diterapkan dalam perusahaan besar sangat kompleks. Kompleksitas sistem tersebut disebabkan oleh kekhususan dari sistem yang didisain untuk suatu organisasi bisnis sebagai akibat dari adanya perbedaan kebutuhan akan informasi oleh manajer, bentuk dan jalan transaksi laporan keuangan. Sistem akuntansi terdiri atas dokumen bukti transaksi, alat-alat pencatatan, laporan dan prosedur yang digunakan perusahaan untuk mencatat transaksi-transaksi serta melaporkan hasilnya.



Operasi suatu sistem akuntansi meliputi tiga tahapan:


  1. Harus mengenal dokumen bukti transaksi yang digunakan oleh perusahaan, baik mengenai jumlah fisik mupun jumlah rupiahnya, serta data penting lainnya yang berkaitan dengan transaksi perusahaan.
  2. Harus mengelompokkan dan mencatat data yang tercantum dalam dokumen bukti transaksi kedalam catatan-catatan akuntansi.
  3. Harus meringkas informasi yang tercantum dalam catatan-catatan akuntansi menjadi laporan-laporan untuk manajemen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Desain Sistem

Sistem akuntansi di disain harus memenuhi spesifikasi informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan, asalkan informasi tersebut tidak terlalu mahal. Dengan demikian, pertimbangan utama dalam mendisain sistem akuntansi adalah keseimbangan antara manfaat dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi tersebut.

Agar efektif, laporan yang disajikan oleh sistem akuntansi harus dibuat secara tepat waktu, jelas dan konsisten. Laporan yang disajikan dengan pengetahuan dan kebutuhan pemakai agar dapat digunakan sebagai pertimbangan didalam pengambilan keputusan.

Disainer (perancang) sistem harus memiliki pengetahuan untuk membedakan sistem akuntansi dan metode pemrosesan data baik pemrosesan data secara manual maupun dengan menggunakan komputerisasi. Kemampuan untuk membedakan pemrosesan transaksi secara manual dan komputer cukup penting, karena pada organisasi bisnis tertentu tidak semua transaksi dapat di proses dengan komputer dan kemampuan disainer sistem dalam mengevaluasi alternatif-alternatif yang dipertimbangkan pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar sistem akuntansi. Singkatnya, prinsip dasar yang terkandung dalam sistem akuntansi yang baik kemungkinan besar sistem yang didisain pada perusahaan tertentu akan mengalami kesulitan ketika diterapkan.

Implementasi sistem

Implementasi sistem bukan hanya merupakan tanggung jawab personel yang ada pada bagian tertentu, tetapi semua personil harus bertanggung jawab terhadap pengoperasian sistem. Pengoperasian sistem harus secara hati-hati dan selalu dilakukan supervisi atas sistem tersebut sebelum dioperasikan sepenuhnya.

Sumber: Wikipedia

Kamis, 22 Mei 2014

Apa Itu Laporan Arus Kas?

Laporan arus kas merupakan laporan keuangan yang berisi informasi aliran kas masuk dan aliran kas keluar dari suatu perusahaan selama periode tertentu. Informasi ini penyajiannya diklasifikasikan menurut jenis kegiatan yang menyebabkan terjadinya arus kas masuk dan kas keluar tersebut. Kegiatan perusahaan umumnya terdiri dari tiga jenis yaitu, kegiatan operasional, kegiatan investasi serta kegiatan pendanaan / keuangan.



Laporan arus kas terdiri atas tiga bagian:

  1. Yang pertama adalah arus kas dari aktivitas operasi. Bagian ini berisi aliran kas dari aktivitas operasional perusahaan sehari-hari seperti pembayaran ke supplier, penerimaan hasil penjualan, pembayaran pajak, dan lain-lain;
  2. Yang kedua adalah arus kas dari aktivitas investasi. Bagian ini berisikan aliran kas yang berkaitan dengan pembelian dan penjualan aset tetap;
  3. Yang ketiga adalah aliran kas dari aktivitas pendanaan. Bagian ini mencatat aliran kas yang berkaitan dengan aktivitas pendanaan, misalnya kas dari utang ataupun hasil penerbitan saham baru.

Rabu, 21 Mei 2014

Apa Itu Laporan Laba Rugi?

Laporan laba rugi adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih.



Secara umum unsur Pendapatan dan beban tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pendapatan Usaha;
  2. Retur dan Potongan Penjualan;
  3. Harga Pokok Penjualan;
  4. Beban Usaha;
  5. Pendapatan diluar usaha;
  6. Beban diluar usaha;
  7. Beban Pajak.

Selasa, 20 Mei 2014

Apa Itu Harga Pokok Produksi?

Harga pokok produksi merupakan biaya manufaktur yang berkaitan dengan barang- barang yang diselesaikan dalam periode tertentu. Unsur - unsur harga pokok produksi terdiri dari:




  1. Biaya bahan baku;
  2. Biaya Tenaga kerja langsung;
  3. Biaya overhead pabrik;
  4. Barang dalam proses awal;
  5. (Barang dalam proses akhir).

Fungsi harga pokok produksi adalah:

1. Harga pokok sebagai penetapan harga jual.

Harga pokok merupakan hal penting yang perlu diketahui oleh perusahaan karena harga pokok dapat memberikan pengaruh terhadap penentuan harga jual produk tertentu.


2. Harga pokok sebagai dasar penetapan laba.

Apabila perusahaan telah membuat perhitungan harga pokok maka perusahaan dapat menetapkan laba yang diharapkan yang akan mempengaruhi tingkat harga jual suatu produk tertentu.


3. Harga pokok sebagai dasar penilaian efisiensi.

Harga pokok dapat dijadikan dasar untuk mengontrol pemakaian bahan, upah dan biaya produksi tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga pokok standar terlebih dahulu dan kemudian membandingkan dengan harga pokok yang aktual atau yang sebenarnya terjadi. Apakah terdapat selisih antara perhitungan kedua harga pokok tersebut, apabila ada selisih negatif berarti proses produksi yang dilaksanakan belum efisien dan perusahaan perlu menngetahui penyebab terjadinya selisih tersebut, sehingga dapat diambil tindakan koreksi untuk memperbaiki  kesalahan tersebut sedangkan bila ada selisih positif maka perlu ditelusuri terlebih lanjut atas selisih tersebut apakah karena perusahaan telah menjalankan proses produksi secara efisien atau perhitungan harga pokok standar yang kurang tepat.


4. Harga pokok sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan manajemen.

Harga pokok merupakan suatu pedoman penting sekaligus sebagai suatu dasar untuk pengambilan keputusan khusus perusahaan, misalnya:

  • Menetapkan perubahan harga penjualan;
  • Menetapkan penyesuaian proses produksi;
  • Menetapkan strategi persaingan di pasaran luas;
  • Pengambilan keputusan-keputusan khusus manajemen, seperti apakah akan membeli atau membuat sendiri suatu suku cadang, apakah menerima suatu pesanan khusus dengan harga khusus atau tidak.

Senin, 19 Mei 2014

Sistem Penomoran Baru Dalam Pembuatan Faktur Pajak

Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan kenyamanan kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat.



Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.

Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.

Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).

Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
  1. Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
  2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
  3. Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
  4. Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
  5. Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
  6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
  7. Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sumber: www.pajak.go.id

Jumat, 16 Mei 2014

Apa Itu Biaya Produksi?

Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh factor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut.



Secara umum, unsur - unsur biaya produksi pada perusahaan manufacturing adalah sebagai berikut:

  1. Biaya bahan baku, yaitu biaya pemakaian material utama dalam menghasilkan produk, contoh: kertas merupakan bahan baku utama untuk produksi percetakan;
  2. Biaya tenaga kerja langsung, yaitu biaya upah dikeluarkan perusahaan dalam rangka menghasilkan produk, contoh upah operator mesin cetak, dll;
  3. Biaya Overhead, merupakan biaya - biaya penolong yang mendukung proses produksi, seperti lem merupakan biaya overhead pada perusahaan percetakan. Biaya overhead yang tidak bisa diidentifikasi secara rinci terhadap satuan produk, ditetapkan tarif sesuai dengan volume dan waktu produksi.

Kamis, 15 Mei 2014

Cermati Daftar PKP Yang Dicabut Agar Terhindar Dari Sanksi Perpajakan

Oleh Moh Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bila kita cermati  akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?



Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Artinya bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban tersebut.

Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di bawah ini.
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut, peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN.

Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena omset sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya, maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil, kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak

Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :  
  1. memungut,
  2. menyetor, dan
  3. melaporkan
PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
  1. mengkreditkan PPN yang dipungut oleh suppliernya
  2. memperoleh kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
  1. PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
  2. PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas adalah sebagai berikut:
  1. PT XYZ menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp 1.000.000,00.
    Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:
    • Bagi PT XYZ faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
    • Sedangkan bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
  2. PT ABC menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar Rp 1.500.000,00:
    • Bagi PT ABC faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
    • Bagi Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
  3. PT ABC kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
    Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur Pajak Keluaran) 1.500.000,00
    Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
    PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
    Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan Pajak Masukan.
  4. Sejumlah Rp 500.000,00 tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di atas, apabila PT XYZ karena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.

Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC.
Akibatnya, PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).

Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Sumber: www.pajak.go.id
 

Rabu, 14 Mei 2014

Metode Penetapan Harga Pokok Produksi

Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara untuk memperhitungkan unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Dalam memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi, terdapat dua pendekatan yaitu full costing dan variabel costing.



1. Full Costing
Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku variabel maupun tetap.

Pendekatan full costing yang biasa dikenal sebagai pendekatan tradisional menghasilkan laporan laba rugi dimana biaya-biaya di organisir dan sajikan berdasarkan fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi pihak luar perusahaan, oleh karena itu sistematikanya  harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk menjamin informasi yang tersaji dalam laporan tersebut.

2. Variabel Costing
Variabel costing merupakkan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.

Dalam pendekatan ini biaya-biaya yang diperhitungkan sebagai harga pokok adalah biaya produksi variabel yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel. Biaya-biaya produksi tetap dikelompokkan sebagai biaya periodik bersama-sama dengan biaya tetap non produksi.

Pendekatan variabel costing di kenal sebagai contribution approach merupakan suatu format laporan laba rugi yang mengelompokkan biaya berdasarkan perilaku biaya dimana biaya-biaya dipisahkan menurut kategori biaya variabel dan biaya tetap dan tidak dipisahkan menurut fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan.

Dalam pendekatan ini biaya-biaya berubah sejalan dengan perubahan out put yang diperlakukan sebagai elemen harga pokok produk. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pihak internal oleh karena itu tidak harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Selasa, 13 Mei 2014

Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Terbaru

Oleh Moh. Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak



Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.  Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).

Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.

Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji.  Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:

Gaji   3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja       15.000,00
Premi Jaminan Kematian   9.000,00
Penghasilan bruto   3.024.000,00
Pengurangan    
1. Biaya jabatan    
5%x3.024.000,00 151.200,00  
2. Iuran Pensiun 50.000,00  
3. Iuran Jaminan Hari Tua 60.000,00  
    261.200,00
Penghasilan neto sebulan   2.762.800,00
Penghasilan neto setahun    
12x2.762.800,00   33.153.600,00
PTKP    
- untuk WP sendiri 24.300.000,00  
- tambahan WP kawin 2.025.000,00  
    26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun   6.828.600,00
Pembulatan   6.828.000,00
PPh terutang    
5%x6.828.000,00 341.400,00  
PPh Pasal 21 bulan Juli    
341.400,00 : 12   28.452,00
Catatan:
  • Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
  • Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Sumber: www.pajak.go.id

Senin, 12 Mei 2014

Tata Cara Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan atas Pengusaha Kecil PPN Tahun 2014



Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Secara Jabatan atas Pengusa Kecil Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2014, maka ada beberapa ketentuan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai berikut:
  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 diterbitkan untuk mengatur secara khusus pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan atas pengusaha kecil PPN tahun 2014.
  2. Pencabutan PKP secara jabatan tersebut akan dilakukan oleh KPP terhadap PKP yang:
    1. mempunyai jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam tahun 2013 sampai dengan Rp4,8 Miliar; dan
    2. memilih untuk dicabut status pengukuhan PKP-nya.
  3. PKP diminta untuk menyampaiakn Surat Pernyataan sebagaimana diatur dalam PER-12/PJ/2014 yang menyatakan memilih tetap sebagai PKP atau memilih untuk dicabut status pengukuhan PKP-nya paling lambat tanggal 31 Mei 2014 ke KPP tempat PKP dikukuhkan.
  4. Formulir Surat Pernyataan dapat diunduh di www.pajak.go.id atau diperoleh di KPP tempat PKP dikukuhkan.

Sumber: www.pajak.go.id

Jumat, 09 Mei 2014

Akuntansi Biaya

Akuntansi biaya adalah suatu bidang akuntansi yang diperuntukkan bagi proses pelacakan, pencatatan, dan analisa terhadap biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang atau jasa. Biaya didefinisikan sebagai waktu dan sumber daya yang dibutuhkan dan menurut konvensi diukur dengan satuan mata uang. Penggunaan kata beban adalah pada saat biaya sudah habis terpakai.



Objek biaya adalah sebagai suatu item atau aktivitas yang biayanya diakumulasi dan diukur. Berikut adalah aktivitas atau item-item yang dapat menjadi objek biaya:
  1. Produk, Proses
  2. Batch dari unit-unit sejenis , Departemen
  3. Pesanan pelanggan, Divisi
  4. Kontrak, Proyek
  5. Lini produk, Tujuan strategis

Kamis, 08 Mei 2014

Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan

Arus kas dari aktivitas pendanaan mengukur aliran dana antara perusahaan, pemilik dan krediturnya. Perusahaan sering meminjam uang untuk membiayai operasi mereka, mendapatkan perusahaan lain atau melakukan pembelian lain dalam jumlah besar.



Pengeluaran operasional berdasarkan waktu, seperti memenuhi kebutuhan pengupahan, bisa menjadi satu alasan untuk pendanaan arus kas. Perusahaan pada dasarnya meminjam dari arus kas yang diharapkan akan diterima di masa yang akan datang dengan memberikan hak kepada perusahaan lain atas bagian dari penerimaan mereka. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan hari ini, ketimbang suatu saat di masa yang akan datang.

Sumber: Ipot Forum

Rabu, 07 Mei 2014

Sekilas tentang Perusahaan Jasa

Perusahaan jasa adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan berbagai pelayanan atau memproduksi produk yang tidak berwujud dengan tujuan menghasilkan laba.
Berbagai bidang perusahaan jasa dapat bergerak dalam usaha jasa, antara lain:
a. Transportasi, diantaranya perusahaan bus kota, taksi dan angkutan kota / desa;
b. Reparasi dan pemeliharaan, diantaranya bengkel, cuci mobil dan cleaning service;
c. Komunikasi, meliputi telepon, radio dan TV, serta penerbitan surat kabar dan majalah;
d. Tempat tinggal, diantaranya mess, hotel dan penginapan;
e. Keahlian perseorangan yaitu,  salon kecantikan, tukang jahit dan foto studio;
f. Hiburan, diantaranya bioskop dan tempat rekreasi;
g. Profesi,diantaranya  akuntan, pengacara, rumah bersalin dan notaris.

Selasa, 06 Mei 2014

Arus Kas dari Aktivitas Investasi

Arus kas dari aktivitas investasi (cash flows investing activities) adalah: aktivitas kas dari transaksi yang mempengaruhi investasi aktiva tetap. Contoh: penjualan dan pembelian aktiva tetap, seperti: peralatan dan bangunan. Transaksi kas yang berhubungan dengan perolehan fasilitas investasi dan non kas lainnya yang digunakan oleh perusahaan.



Arus kas masuk terjadi jika kas yang diterima dari hasil atau pengembalian investasi yang dilakukan sebelumnya, misalnya: dari hasil atau penjualan.

Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Investasi, misalnya:
a. Penjualan aktiva tetap.
b. Penjualan surat berharga yang berupa investasi.
c. Penagihan pinjaman jangka panjang (tidak termasuk bunga jika ini merupakan kegiatan investasi).

Arus Kas dari Aktivitas Operasional

Jumlah aliran arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasi perusahaan dapat menghasilkan aliran kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, pemeliharaan kemampuannya tersebut membayar deviden dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan para sumber pendanaan dari luar.



Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:

  • Kas yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa secara tunai;
  • Kas yang diterima dari penagihan piutang dagang dan piutang lainnya;
  • Kas yang diterima dari kontrak yang diadakan untuk tujuan transaksi usaha.


Arus kas keluar yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:

  • Kas yang dikeluarkan untuk pajak dan biaya administrasi lainnya;
  • Pembayaran hutang-hutang jangka pendek, yang meliputi: hutang dagang, gaji, bunga dan sebagainya;
  • Pembayaran untuk pembelian barang dan jasa;
  • Pengeluaran kas untuk kegiatan operasi termasuk juga untuk pembayaran biaya gaji, upah, sewa dan biaya operasi lainnya.

Senin, 05 Mei 2014

Apa Itu Rekonsiliasi Bank?

Rekonsiliasi Bank merupakan langkah - langkah yang dilakukan untuk menentukan hal-hal yang menimbulkan perbedaan Saldo yang tampak pada laporan perusahaan dengan laporan bank.



Rekonsiliasi bank melakukan pembandingan setiap transaksi yang dicatat oleh perusahaan dengan transaksi yang dicatat oleh bank.

Hal - hal yang menyebabkan saldo dari rekening koran sering tidak sama dengan saldo dalam buku pemegang giro:

  • Check dalam peredaran;
  • Setoran belum sempat dicatat oleh bank karena disetor pada akhir bulan;
  • Biaya administrasi bank yang hanya diketahui oleh pemegang giro setelah ada laporan bank;
  • Biaya atas wesel yang diserahkan kepada bank yang dibebankan oleh bank terhadap pemegang giro.

Minggu, 04 Mei 2014

Proses Penyesuaian dan Eliminasi Laporan Keuangan Konsolidasi

Ada beberapa proses penyesuaian dan eliminasi dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, diantaranya:


  • Penyesuaian untuk mengeleminasi laba dan rugi antar perusahaan;
  • Penyesuaian untuk mengeliminasi laba dan deviden dari perusahaan anak dan menyesuaikan investasi dalam perusahaan anak dengan saldo awal periode;
  • Penyesuaian untuk mencatat hak minoritas pada laba dan deviden perusahaan anak;
  • Mengeliminasi saldo investasi dalam perusahaan anak dan ekuitas perusahaan anak;
  • Mengalokasikan dan mengamortisasi perbedaan biaya / nilai buku;
  • Mengeliminasi saldo yang bersifat resiprokal lainnya (utang-piutang antar perusahaan, pendapatan serta beban, dan lainnya).

Sabtu, 03 Mei 2014

Ulasan Singkat Budgeting

Budgeting ialah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan (yang menimbulkan penerimaan / hak dan juga pengeluaran/kewajiban), yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu / periode tertentu yang akan datang.



Unsur - unsur budgeting:

• Rencana

  1. Penentuan terlebih dahulu tentang berbagai aktivitas yang akan dilakukan di waktu yang akan datang.
  2. Rencana tsb. memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu, seperti; disusun secara sistematis, mencakup seluruh kegiatan perusahaan, dan dinyatakan dlm. satuan moneter/uang

• Meliputi selururuh kegiatan perusahaan :

  1. Fungsi produksi
  2. Fungsi pembelanjaan/keuangan
  3. Fungsi administrasi
  4. Fungsi pemasaran
  5. Fungsi personalia            

• Untuk waktu yang akan datang

Jumat, 02 Mei 2014

Pencadangan Piutang Tak Tertagih

Dalam praktik akuntansi terutama untuk basis akrual, timbulnya utang dan piutang merupakan hal yang wajar  dan biasa terjadi. Untuk piutang, biasanya timbul karena kebijakan kredit dari perusahaan dalam penjualan barang atau jasa perusahaan kepada pihak lain.



Namun, terkadang terjadi suatu keadaan tidak tertagihnya sebagian piutang oleh perusahaan, hal ini merupakan konsekuensi dari kebijakan kredit yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang bertujuan meningkatkan penjualan barang atau jasa perusahaan, tidak tertagihnya piutang mencerminkan aliran keluar (outflow) aktiva atau aset sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan (revenue). Oleh karena itu, piutang tak tertagih dikategori sebagai biaya (expense). Meskipun begitu, terdapat pandangan teoretis bahwa piutang tak tertagih (bad debt) diakui sebagai pengurang penjualan, serupa dengan perlakuan potongan penjualan dan retur penjualan.

Untuk pengakuan kerugian dari piutang tak tertagih biasanya digunakan dua metode yaitu:
  1. Metode cadangan, yang mengakui rugi piutang tak tertagih pada periode penjualan kredit yang sedang berjalan dengan cara menaksir dan bukan pada saat periode dihapusnya piutang.
  2. Metode langsung, atau metode penghapusan langsung yang mengakui rugi pada saat telah terjadi penghapusan piutang dengan mendebit Biaya Piutang tidak tertagih dan mengkredit Piutang Usaha, namun metode ini hanya diperbolehkan apabila jumlahnya tidak material.

Kamis, 01 Mei 2014

Apa Itu Laporan Perubahan Modal?

Laporan perubahan modal, adalah laporan yang menunjukkan perubahan modal untuk periode tertentu, mungkin satu bulan atau satu tahun. Melalui laporan perubahan modal dapat diketahui sebab-sebab perubahan modal selama periode tertentu.




Di dalam laporan perubahan modal terdapat beberapa komponen diataranya :

  • Modal awal : Keseluruhan dana yang di investasikan kedalam perusahan yang digunakan untuk menunjang pengoperasian perusahan pada saat awal perusahan tersebut baru berdiri atau posisi modal awal perusahan pada awal bulan pada tahun yang bersangkutan;
  • Laba / rugi : Selisih dari bersih antara total pendapatan dengan total biaya;
  • Prive : Penarikan sejumlah dana oleh pemilik perusahan yang digunakan untuk keperluan di luar kegiatan / operasional perusahaan atau yang digunakan untuk keperluan pribadi;
  • Modal akhir : Keseluruhan dana yang merupakan hasil akhir dari penambahan modal awal ditambah dengan laba ( jika mengalami keuntungan ) atau pengurangan modal awal dikurangi rugi usaha ( Jika mengalami kerugian ) kemudian dikurangi dengan total prive dan hasil merupakan modal akhir.