Label atau status sebagai negara makmur sudah cukup lama negeri ini
nikmati, sejak dulu pada dekade 1970an ketika harga minyak melambung
tinggi. Dari situ kita lama tenggelam dalam euforia kenyamanan sampai
akhirnya kenyataan membuat kita sadar bahwa era kejayaan itu sudah lewat
dan seperti halnya sebagian besar negara di dunia, sumber keuangan
bagi berjalannya negara ini berasal justru dari kita sendiri yaitu dari
uang pajak yang kita bayarkan. Mari kita renungkan dengan jujur,
setidaknya masa lima tahun belakangan ini, ketika era partai Demokrat
berhasil memenangkan Pemilu Legislatif dengan perolehan ajaib di angka
20,68% ditambah pula pesona Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil
menghantarkannya sebagai Presiden RI yang disebut- sebut paling
demokratis. Saat itu kita dilambung harapan akan kehidupan yang lebih
baik yang kiranya dapat dihadirkan sang pemenang pesta demokrasi.
Tapi yang kemudian kita saksikan adalah sederetan cerita tak sedap tentang kegagapan pemerintah menciptakan program yang pro job, pro growth dan pro poor.
Itulah faktanya dan setidaknya mari berhenti menghujat pemerintah
dengan alasan maraknya praktik lancung khas birokrasi yang kerap
menghias layar televisi. Bangsa ini ada disatu titik dimana
ketidakhadiran kesejahteraan disebabkan oleh ketidakjujuran yang
berlangsung masif dan kolektif. Oleh karena itu perbaikan pun harus
dilakukan semua pihak disegala lini meski perlahan tetapi arahnya sama.
Tidak banyak dari kita yang paham bahwa sebetulnya, itikad kuat tentu
sudah ada dari pemerintah yang dapat kita lihat dari beberapa program
yang berorientasi pada kesejahtaraan dan pemerataan, sebut saja MP3EI,
PNPM Mandiri, JKN dan Beasisw LPDP. Namun semua program itu membutuhkan
dana agar bisa berjalan lancar dan kontinyu. Bahwa kemudian di lapangan
ada oknum yang main sunat dalam penggunaanya, itu cerita lain yang
bukan ranah artikel ini. Pemahaman bersama yang perlu ditumbuhkan
adalah bahwa dibutuhkan kebebasan ruang gerak fiskal didalam struktur
APBN untuk dapat menjamin keberlangsungan semua program itu.
Permasalahan
yang kita hadapi dewasa ini mengarah pada satu kenyataan bahwa pajak
yang menjadi hampir 80% sumber APBN jumlahnya selalu shortfall
alias tidak tercapai sementara tuntutan kebutuhan meningkat. Kebutuhan
tersebut meliputi semua aspek kepentingan mulai dari sosial, ekonomi,
politik dan hankam. Kita ambil contoh dari sisi ekonomi, dibutuhkan
penambahan jumlah belanja modal yang besar untuk membiayai infrastruktur
yang dapat memangkas jalur distribusi dan biaya ekonomi tinggi. Disaat
yang sama di sisi hankam dibutuhkan tambahan anggaran untuk menopang
Alutsista yang dibutuhkan ABRI dalam menjalankan tugas. Semua tuntutan
itu berhadapan dengan terbatasnya kemampuan negara dalam menyediakan
uang untuk mendanainya.
Bila dilakukan telaah mendalam, dapat kita temui
dua penyebab kurang optimalnya pencapaian penerimaan negara dari pajak
yaitu kurangnya basis pengenaan pajak dan lemahnya penegakan hukum
perpajakan. Telaah kritis atas kedua penyebab tersebut merupakan
keharusan untuk mencari solusi demi mengoptimalkan pengumpulan uang
negara yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Basis Pajak Minim
Bukti
nyata atas opini tersebut dapat kita jumpai pada keadaan bahwa jumlah
Wajib Pajak yang menjadi basis pengenaan pajak di negeri ini sangat
timpang dengan jumlah potensi yang seharusnya ada. Dengan potensi
jumlah kelas menengah yang bertambah maka ada peluang untuk memperluas
basis pemajakan yang ada (extensifikasi) dan sekaligus menggali lebih dalam potensi dari yang sudah terdaftar (intensifikasi).
Ketika baru- baru ini sebanyak 19 orang Warga Negara Indonesia masuk
dalam 1.645 orang terkaya dunia maka hal tersebut harus diiringi dengan
evaluasi seberapa besar kontribusi pajak yang mereka bayarkan kepada
negara. Harian Kompas edisi 07 Maret 2014 melansir data bahwa Rp150
Triliun potensi pajak dari sektor orang pribadi hilang dan ini
mengindikasikan lemahnya basis data perpajakan yang menyasar sektor
orang pribadi. Sementara itu disisi korporasi, fakta dilapangan
menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan pertambangan skala menengah
keatas yang belum memiliki NPWP sementara aktivitas penambangan mereka
telah berjalan beberapa waktu lamanya lewat IUP yang memiliki kekuatan
legal, sebagaimana disebutkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa
ada potensi penerimaan negara yang hilang dari keadaan ini.
Khususnya
dari sektor Minerba, KPK melansir data bahwa Rp2,47 Triliun potensi
penerimaan negara hilang akibat kurangnya pengawasan. Ini menunjukkan
adanya IUP yang tidak terawasi aspek perpajakannya dan ini peluang untuk
memperluas basis pemajakan. Tingginya kualitas dan kuantitas basis
pemajakan akan meningkatkan tax ratio sebesar 4% untuk setiap penerimaan pajak Rp300 Triliun.
Penegakan Hukum Perpajakan Lemah
Rakyat
Indonesia lebih takut tidak bayar listrik ke PLN daripada tidak
membayar Pajak Penghasilan. Itu rahasia umum yang jamak berkembang
selama ini. Anggapan tersebut merupakan akibat dari lemahnya penegakan
sanksi hukum bagi mereka para wajib pajak yang selama ini tidak memenuhi
kewajiban perpajakan. Solusi atas hal ini harus dijalankan dari dua
sisi yaitu dari sisi internal Direktorat Jenderal Pajak dan dari Wajib
Pajak sendiri secara langsung, setidaknya sampai saat ini sebetulnya DJP
telah dibekali dengan kekuatan yang diamanahkan Undang- Undang No 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-
Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Namun kondisi terkini menunjukkan bahwa ragam praktik yang berkembang
makin jauh meninggalkan ketentuan yang ada sehingga luput dari pengenaan
sanksi. Sementara itu, harus diakui bahwa Wajib Pajak dapat dikatakan
enggan taat pajak karena mereka melihat selama ini DJP kurang gagah dan
bertaji dalam beraksi, tidak seperti KPK atau POLRI yang dilengkapi
perangkat yang menampilkan citra tegas, DJP tidak memiliki image
yang dapat menimbulkan kesan sebagai penegak hukum di bidang
perpajakan. Penggalian potensi perpajakan yang dijalakan petugas pajak
lebih banyak mental hanya pada selembar kertas himbauan yang kerap
diabaikan wajib pajak. Pajak tidak disegani, gaung modernisasi yang
selama ini dijalankan dapat dikatakan mengaum tanpa gaung.
Otonomi Sebuah Solusi
DJP
memang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kementerian Keuangan,
aparatnya adalah PNS yang terikat pada seperangkat aturan Pegawai
Negeri Sipil. Pun begitu juga dalam menjalankan tugas, semua kebijakan
yang ada harus dikoordinasikan dengan beberapa lapis birokrasi yang
kerap berbenturan dengan banyak kepentingan sehingga banyak inovasi
atau terobosan yang selama ini potensial justru layu sebelum
berkembang. Kondisi ini menarik untuk dicermati lebih dalam, terlebih
kita ketahui bahwa dengan tugas yang makin berat seharusnya rintangan
yang muncul ditataran birokrasi tidak perlu lagi terjadi. Tugas berat
DJP mengumpulkan uang bagi negara harus diletakkan diatas kepentingan
apapun. DJP patut diberi kewenangan lebih untuk merumuskan inovasi dan
langkah demi menjalankan tugas dan pertanggungjawabannya pun tidak perlu
berbenturan dengan pihak yang peran dan tanggung jawabnya tidak
sekrusial DJP. Artinya pertanggungjawaban DJP langsung ke Presiden. Ini
penting sebab dengan kemandirian dalam merumuskan kebijakan akan dapat
berdampak langsung terhadap penegakan hukum perpajakan dalam rangka
memberi efek jera para pengemplang pajak dan oknum internal DJP sendiri.
Perluasan basis pengenaan pajak pun dapat dirumuskan dengan fokus
semata untuk mencari penerimaan negara tanpa dibebani benturan
kepentingan yang kadang justru muncul dari instansi lain. Selain itu,
dengan menjadi mandiri DJP akan dapat mengetahui langkah apa yang
diperlukan dalam rangka menjalankan tugas dengan optimal, terutama dalam
hal tata kelola SDM (formasi dan kebutuhan tenaga). Selama ini DJP
dibatasi dalam hal penambahan personel padahal banyak studi yang
dipaparkan menunjukkan ketimpangan rasio petugas pajak dengan wajib
pajak yang diawasi.
DJP dapat diibaratkan sebagai tumpuan
negeri ini dalam rangka mewujudkan cita- cita menjadi negara sejahtera,
yang benar- benar sejahtera, seperti yang sempat dinikmati dulu
sekitar 3 dekade yang lalu. Sudah sepantasnya DJP diberi kekuatan agar
amanah tersebut dapat terlaksana. Demi terwujudnya penerimaan negara
yang optimal sehingga menghasilkan kebebasan ruang gerak fiskal bagi
APBN untuk dikelola lebih luas yang berujung kesejahteraan dan
pemerataan. Semoga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Oleh Erikson WIjaya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber: www.pajak.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan mengisi kolom komentar ini