Terhitung sejak 1 Januari 2014 kemaren, DJP telah menyerahkan semua
wewenang dan tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2) kepada pemerintah kota dan kabupaten di seluruh
Indonesia sebagaimana amanat UU PDRD. Dengan demikian penetapan Nilai
Jual Objek Pajak juga telah menjadi wewenang Pemerintah Daerah.
Sementara dalam prakteknya, pemutakhiran data NJOP (Nilai Jual Objek
Pajak) di berbagai wilayah pemerintah daerah yang tahun-tahun sebelumnya
sudah melaksanakan pemungutan PBB P2 hampir dipastikan atau sebagian
besar tidak dilakukan padahal pada masa dibawah wewenang DJP, NJOP
sebagai patokan harga pasar suatu nilai properti belum sepenuhnya
mendekati assessment sales ratio yang ideal.
Bisa
dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak
terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar
antar daerah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan
dengan potensi PPh maupun PPN yang terutang atas transaksi properti
maka akan menjadi suatu potential loss yang besar bagi penerimaan pajak.
Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi properti terdapat pajak
yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5% dari jumlah
bruto nilai pengalihan.
Nilai pengalihan hak adalah
nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak
dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara untuk
PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan
penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun
jenis-jenis lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah
nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di
bawah NJOP, maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut.
Sementara itu jika melihat perkembangan pasar properti di Indonesia,
bisnis ini terus tumbuh seiring dengan bertambahnya kebutuhan
masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau perkantoran.
Bisa
dilihat secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama
kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan
perumahan, ruko atau rukan sangat pesat. Geliat pertumbuhan investasi di
sektor properti tidak hanya terjadi di Jabodetabek saja. Banyak
daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor propertinya mulai
berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa
kurang dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal
turut berperan sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia.
Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan menjadi negara dengan nilai
kontribusi industri properti terbesar ke tujuh di dunia, mengalahkan
Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI menyebutkan bahwa
nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang tahun 2013
menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun
2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak
dari sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan
pertumbuhan sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya.
Dengan kenyataan ini, maka penerimaan pajak dari sektor properti
menjadi relevan untuk tetap diperhatikan oleh DJP dalam rangka
menyumbang pengamanan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan banyak transaksi properti
yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar pengenaan pajak
yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.
Dapat
dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam
Munandar Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar
wajar Rp. 900 juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp.
240 juta. Dengan berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi
dalam pencantuman angka transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di
atas NJOP atau sekitar Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 300 juta.
Kecenderungan tersebut adalah karena baik penjual maupun pembeli
properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT, biaya pengurusan
sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada loss
sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap
antara NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga
tidak mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa
transaksi yang wajar atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta.
Sementara itu jika mengandalkan pemerintah daerah kabupaten atau kota
untuk terus menjaga atau meng-update NJOP yang mendekati harga pasar
wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat sumber daya pemerintah
daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti masih kurang.
Dapat
dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun
PPN dari transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2
terjadi stagnan dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara
pertumbuhan pasar properti yang selalu meningkat berikut kenaikan
harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP perlu segera merumuskan
kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi properti yaitu
nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak hanya
berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau
harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar
wajar ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri
Keuangan tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar
Pengenaan PBB yang dulu lebih dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam
SK Klasifikasi yang bisa diberi nama SK Indikasi Nilai Pasar Wajar
Properti atau apapun namanya, paling tidak berisikan informasi atau
patokan zona-zona nilai tanah terutama di wilayah-wilayah pengembangan
pembangunan suatu kota atau kabupaten.
Selain zona nilai
tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan
(properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut
juga bisa langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah,
rumah, apartemen, ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap
perlu sebagai acuan dalam mengoreksi kepatutan harga atas transaksi
properti atau real estate tertentu. Nilai suatu bangunan juga
sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu indikasi nilai biaya
pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam pengenaan PPN
kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan
tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan
(KEP-533/PJ/2000). Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi
nilai sewa wajar atas properti pada setiap zona sebagai instrument yang
mendukung untuk menentukan besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau
bangunan.
Dengan mengoptimalkan tenaga Fungsional
Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu meng-update nilai pasar
wajar properti yang mana informasi data harga pasar suatu properti
sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media, jual-beli
online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan instrumen
SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik
per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam
hal ini Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi
jual-beli properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan
kewajiban PPh maupn PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak
pada sektor properti yang terus berkembang. Instrumen ini juga dapat
memberikan kepastian hukum ataupun akuntabilitas dalam proses
pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam rangka menerbitkan
surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang dapat
menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.
Dengan
instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai
tertentu pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai
rentang nilai yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan
adalah bahwa tidak menutup kemungkinan instrumen tersebut digunakan
oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebagai acuan dalam
penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 maupun BPHTB sehingga
dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah tersebut. Manfaat
lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan seimbang
baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai
dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa
adil bagi masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan
tingkat partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar
pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Sumber: www.pajak.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan mengisi kolom komentar ini