Label atau status sebagai negara makmur sudah cukup lama negeri ini
nikmati, sejak dulu pada dekade 1970an ketika harga minyak melambung
tinggi. Dari situ kita lama tenggelam dalam euforia kenyamanan sampai
akhirnya kenyataan membuat kita sadar bahwa era kejayaan itu sudah lewat
dan seperti halnya sebagian besar negara di dunia, sumber keuangan
bagi berjalannya negara ini berasal justru dari kita sendiri yaitu dari
uang pajak yang kita bayarkan. Mari kita renungkan dengan jujur,
setidaknya masa lima tahun belakangan ini, ketika era partai Demokrat
berhasil memenangkan Pemilu Legislatif dengan perolehan ajaib di angka
20,68% ditambah pula pesona Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil
menghantarkannya sebagai Presiden RI yang disebut- sebut paling
demokratis. Saat itu kita dilambung harapan akan kehidupan yang lebih
baik yang kiranya dapat dihadirkan sang pemenang pesta demokrasi.
Tapi yang kemudian kita saksikan adalah sederetan cerita tak sedap tentang kegagapan pemerintah menciptakan program yang pro job, pro growth dan pro poor.
Itulah faktanya dan setidaknya mari berhenti menghujat pemerintah
dengan alasan maraknya praktik lancung khas birokrasi yang kerap
menghias layar televisi. Bangsa ini ada disatu titik dimana
ketidakhadiran kesejahteraan disebabkan oleh ketidakjujuran yang
berlangsung masif dan kolektif. Oleh karena itu perbaikan pun harus
dilakukan semua pihak disegala lini meski perlahan tetapi arahnya sama.
Tidak banyak dari kita yang paham bahwa sebetulnya, itikad kuat tentu
sudah ada dari pemerintah yang dapat kita lihat dari beberapa program
yang berorientasi pada kesejahtaraan dan pemerataan, sebut saja MP3EI,
PNPM Mandiri, JKN dan Beasisw LPDP. Namun semua program itu membutuhkan
dana agar bisa berjalan lancar dan kontinyu. Bahwa kemudian di lapangan
ada oknum yang main sunat dalam penggunaanya, itu cerita lain yang
bukan ranah artikel ini. Pemahaman bersama yang perlu ditumbuhkan
adalah bahwa dibutuhkan kebebasan ruang gerak fiskal didalam struktur
APBN untuk dapat menjamin keberlangsungan semua program itu.
Permasalahan
yang kita hadapi dewasa ini mengarah pada satu kenyataan bahwa pajak
yang menjadi hampir 80% sumber APBN jumlahnya selalu shortfall
alias tidak tercapai sementara tuntutan kebutuhan meningkat. Kebutuhan
tersebut meliputi semua aspek kepentingan mulai dari sosial, ekonomi,
politik dan hankam. Kita ambil contoh dari sisi ekonomi, dibutuhkan
penambahan jumlah belanja modal yang besar untuk membiayai infrastruktur
yang dapat memangkas jalur distribusi dan biaya ekonomi tinggi. Disaat
yang sama di sisi hankam dibutuhkan tambahan anggaran untuk menopang
Alutsista yang dibutuhkan ABRI dalam menjalankan tugas. Semua tuntutan
itu berhadapan dengan terbatasnya kemampuan negara dalam menyediakan
uang untuk mendanainya.
Bila dilakukan telaah mendalam, dapat kita temui
dua penyebab kurang optimalnya pencapaian penerimaan negara dari pajak
yaitu kurangnya basis pengenaan pajak dan lemahnya penegakan hukum
perpajakan. Telaah kritis atas kedua penyebab tersebut merupakan
keharusan untuk mencari solusi demi mengoptimalkan pengumpulan uang
negara yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Basis Pajak Minim
Bukti
nyata atas opini tersebut dapat kita jumpai pada keadaan bahwa jumlah
Wajib Pajak yang menjadi basis pengenaan pajak di negeri ini sangat
timpang dengan jumlah potensi yang seharusnya ada. Dengan potensi
jumlah kelas menengah yang bertambah maka ada peluang untuk memperluas
basis pemajakan yang ada (extensifikasi) dan sekaligus menggali lebih dalam potensi dari yang sudah terdaftar (intensifikasi).
Ketika baru- baru ini sebanyak 19 orang Warga Negara Indonesia masuk
dalam 1.645 orang terkaya dunia maka hal tersebut harus diiringi dengan
evaluasi seberapa besar kontribusi pajak yang mereka bayarkan kepada
negara. Harian Kompas edisi 07 Maret 2014 melansir data bahwa Rp150
Triliun potensi pajak dari sektor orang pribadi hilang dan ini
mengindikasikan lemahnya basis data perpajakan yang menyasar sektor
orang pribadi. Sementara itu disisi korporasi, fakta dilapangan
menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan pertambangan skala menengah
keatas yang belum memiliki NPWP sementara aktivitas penambangan mereka
telah berjalan beberapa waktu lamanya lewat IUP yang memiliki kekuatan
legal, sebagaimana disebutkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa
ada potensi penerimaan negara yang hilang dari keadaan ini.
Khususnya
dari sektor Minerba, KPK melansir data bahwa Rp2,47 Triliun potensi
penerimaan negara hilang akibat kurangnya pengawasan. Ini menunjukkan
adanya IUP yang tidak terawasi aspek perpajakannya dan ini peluang untuk
memperluas basis pemajakan. Tingginya kualitas dan kuantitas basis
pemajakan akan meningkatkan tax ratio sebesar 4% untuk setiap penerimaan pajak Rp300 Triliun.
Penegakan Hukum Perpajakan Lemah
Rakyat
Indonesia lebih takut tidak bayar listrik ke PLN daripada tidak
membayar Pajak Penghasilan. Itu rahasia umum yang jamak berkembang
selama ini. Anggapan tersebut merupakan akibat dari lemahnya penegakan
sanksi hukum bagi mereka para wajib pajak yang selama ini tidak memenuhi
kewajiban perpajakan. Solusi atas hal ini harus dijalankan dari dua
sisi yaitu dari sisi internal Direktorat Jenderal Pajak dan dari Wajib
Pajak sendiri secara langsung, setidaknya sampai saat ini sebetulnya DJP
telah dibekali dengan kekuatan yang diamanahkan Undang- Undang No 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-
Undang No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Namun kondisi terkini menunjukkan bahwa ragam praktik yang berkembang
makin jauh meninggalkan ketentuan yang ada sehingga luput dari pengenaan
sanksi. Sementara itu, harus diakui bahwa Wajib Pajak dapat dikatakan
enggan taat pajak karena mereka melihat selama ini DJP kurang gagah dan
bertaji dalam beraksi, tidak seperti KPK atau POLRI yang dilengkapi
perangkat yang menampilkan citra tegas, DJP tidak memiliki image
yang dapat menimbulkan kesan sebagai penegak hukum di bidang
perpajakan. Penggalian potensi perpajakan yang dijalakan petugas pajak
lebih banyak mental hanya pada selembar kertas himbauan yang kerap
diabaikan wajib pajak. Pajak tidak disegani, gaung modernisasi yang
selama ini dijalankan dapat dikatakan mengaum tanpa gaung.
Otonomi Sebuah Solusi
DJP
memang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kementerian Keuangan,
aparatnya adalah PNS yang terikat pada seperangkat aturan Pegawai
Negeri Sipil. Pun begitu juga dalam menjalankan tugas, semua kebijakan
yang ada harus dikoordinasikan dengan beberapa lapis birokrasi yang
kerap berbenturan dengan banyak kepentingan sehingga banyak inovasi
atau terobosan yang selama ini potensial justru layu sebelum
berkembang. Kondisi ini menarik untuk dicermati lebih dalam, terlebih
kita ketahui bahwa dengan tugas yang makin berat seharusnya rintangan
yang muncul ditataran birokrasi tidak perlu lagi terjadi. Tugas berat
DJP mengumpulkan uang bagi negara harus diletakkan diatas kepentingan
apapun. DJP patut diberi kewenangan lebih untuk merumuskan inovasi dan
langkah demi menjalankan tugas dan pertanggungjawabannya pun tidak perlu
berbenturan dengan pihak yang peran dan tanggung jawabnya tidak
sekrusial DJP. Artinya pertanggungjawaban DJP langsung ke Presiden. Ini
penting sebab dengan kemandirian dalam merumuskan kebijakan akan dapat
berdampak langsung terhadap penegakan hukum perpajakan dalam rangka
memberi efek jera para pengemplang pajak dan oknum internal DJP sendiri.
Perluasan basis pengenaan pajak pun dapat dirumuskan dengan fokus
semata untuk mencari penerimaan negara tanpa dibebani benturan
kepentingan yang kadang justru muncul dari instansi lain. Selain itu,
dengan menjadi mandiri DJP akan dapat mengetahui langkah apa yang
diperlukan dalam rangka menjalankan tugas dengan optimal, terutama dalam
hal tata kelola SDM (formasi dan kebutuhan tenaga). Selama ini DJP
dibatasi dalam hal penambahan personel padahal banyak studi yang
dipaparkan menunjukkan ketimpangan rasio petugas pajak dengan wajib
pajak yang diawasi.
DJP dapat diibaratkan sebagai tumpuan
negeri ini dalam rangka mewujudkan cita- cita menjadi negara sejahtera,
yang benar- benar sejahtera, seperti yang sempat dinikmati dulu
sekitar 3 dekade yang lalu. Sudah sepantasnya DJP diberi kekuatan agar
amanah tersebut dapat terlaksana. Demi terwujudnya penerimaan negara
yang optimal sehingga menghasilkan kebebasan ruang gerak fiskal bagi
APBN untuk dikelola lebih luas yang berujung kesejahteraan dan
pemerataan. Semoga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Oleh Erikson WIjaya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber: www.pajak.go.id
Selamat datang di blog kami yang menyajikan berbagai pengetahuan tentang akuntansi dan perpajakan, untuk anda semua pelajar, mahasiswa, umum dan praktisi akuntansi maupun non akuntansi.
Jumat, 30 Mei 2014
Kamis, 29 Mei 2014
Harga Pasar Wajar atau NJOP
Terhitung sejak 1 Januari 2014 kemaren, DJP telah menyerahkan semua
wewenang dan tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan
Perkotaan (PBB P2) kepada pemerintah kota dan kabupaten di seluruh
Indonesia sebagaimana amanat UU PDRD. Dengan demikian penetapan Nilai
Jual Objek Pajak juga telah menjadi wewenang Pemerintah Daerah.
Sementara dalam prakteknya, pemutakhiran data NJOP (Nilai Jual Objek
Pajak) di berbagai wilayah pemerintah daerah yang tahun-tahun sebelumnya
sudah melaksanakan pemungutan PBB P2 hampir dipastikan atau sebagian
besar tidak dilakukan padahal pada masa dibawah wewenang DJP, NJOP
sebagai patokan harga pasar suatu nilai properti belum sepenuhnya
mendekati assessment sales ratio yang ideal.
Bisa dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar antar daerah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan dengan potensi PPh maupun PPN yang terutang atas transaksi properti maka akan menjadi suatu potential loss yang besar bagi penerimaan pajak. Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi properti terdapat pajak yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara untuk PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah NJOP, maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Sementara itu jika melihat perkembangan pasar properti di Indonesia, bisnis ini terus tumbuh seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau perkantoran.
Bisa dilihat secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan perumahan, ruko atau rukan sangat pesat. Geliat pertumbuhan investasi di sektor properti tidak hanya terjadi di Jabodetabek saja. Banyak daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor propertinya mulai berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa kurang dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal turut berperan sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan menjadi negara dengan nilai kontribusi industri properti terbesar ke tujuh di dunia, mengalahkan Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI menyebutkan bahwa nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang tahun 2013 menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun 2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak dari sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan pertumbuhan sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Dengan kenyataan ini, maka penerimaan pajak dari sektor properti menjadi relevan untuk tetap diperhatikan oleh DJP dalam rangka menyumbang pengamanan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan banyak transaksi properti yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar pengenaan pajak yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.
Dapat dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900 juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp. 240 juta. Dengan berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi dalam pencantuman angka transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 300 juta. Kecenderungan tersebut adalah karena baik penjual maupun pembeli properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT, biaya pengurusan sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada loss sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap antara NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga tidak mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa transaksi yang wajar atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta. Sementara itu jika mengandalkan pemerintah daerah kabupaten atau kota untuk terus menjaga atau meng-update NJOP yang mendekati harga pasar wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat sumber daya pemerintah daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti masih kurang.
Dapat dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun PPN dari transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2 terjadi stagnan dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara pertumbuhan pasar properti yang selalu meningkat berikut kenaikan harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP perlu segera merumuskan kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi properti yaitu nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak hanya berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar wajar ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri Keuangan tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB yang dulu lebih dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam SK Klasifikasi yang bisa diberi nama SK Indikasi Nilai Pasar Wajar Properti atau apapun namanya, paling tidak berisikan informasi atau patokan zona-zona nilai tanah terutama di wilayah-wilayah pengembangan pembangunan suatu kota atau kabupaten.
Selain zona nilai tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan (properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut juga bisa langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah, rumah, apartemen, ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap perlu sebagai acuan dalam mengoreksi kepatutan harga atas transaksi properti atau real estate tertentu. Nilai suatu bangunan juga sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu indikasi nilai biaya pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam pengenaan PPN kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan (KEP-533/PJ/2000). Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi nilai sewa wajar atas properti pada setiap zona sebagai instrument yang mendukung untuk menentukan besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan.
Dengan mengoptimalkan tenaga Fungsional Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu meng-update nilai pasar wajar properti yang mana informasi data harga pasar suatu properti sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media, jual-beli online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan instrumen SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi jual-beli properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan kewajiban PPh maupn PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak pada sektor properti yang terus berkembang. Instrumen ini juga dapat memberikan kepastian hukum ataupun akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang dapat menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.
Dengan instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai tertentu pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai rentang nilai yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan adalah bahwa tidak menutup kemungkinan instrumen tersebut digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebagai acuan dalam penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 maupun BPHTB sehingga dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah tersebut. Manfaat lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan seimbang baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa adil bagi masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan tingkat partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Sumber: www.pajak.go.id
Bisa dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak terkontrol dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar antar daerah kabupaten atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan dengan potensi PPh maupun PPN yang terutang atas transaksi properti maka akan menjadi suatu potential loss yang besar bagi penerimaan pajak. Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi properti terdapat pajak yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara untuk PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah NJOP, maka yang menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Sementara itu jika melihat perkembangan pasar properti di Indonesia, bisnis ini terus tumbuh seiring dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau perkantoran.
Bisa dilihat secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan perumahan, ruko atau rukan sangat pesat. Geliat pertumbuhan investasi di sektor properti tidak hanya terjadi di Jabodetabek saja. Banyak daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor propertinya mulai berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa kurang dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal turut berperan sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan menjadi negara dengan nilai kontribusi industri properti terbesar ke tujuh di dunia, mengalahkan Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI menyebutkan bahwa nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang tahun 2013 menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun 2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak dari sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan pertumbuhan sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Dengan kenyataan ini, maka penerimaan pajak dari sektor properti menjadi relevan untuk tetap diperhatikan oleh DJP dalam rangka menyumbang pengamanan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan banyak transaksi properti yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar pengenaan pajak yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.
Dapat dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900 juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp. 240 juta. Dengan berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi dalam pencantuman angka transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 300 juta. Kecenderungan tersebut adalah karena baik penjual maupun pembeli properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT, biaya pengurusan sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada loss sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap antara NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga tidak mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa transaksi yang wajar atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta. Sementara itu jika mengandalkan pemerintah daerah kabupaten atau kota untuk terus menjaga atau meng-update NJOP yang mendekati harga pasar wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat sumber daya pemerintah daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti masih kurang.
Dapat dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun PPN dari transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2 terjadi stagnan dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara pertumbuhan pasar properti yang selalu meningkat berikut kenaikan harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP perlu segera merumuskan kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi properti yaitu nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak hanya berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar wajar ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri Keuangan tentang Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB yang dulu lebih dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam SK Klasifikasi yang bisa diberi nama SK Indikasi Nilai Pasar Wajar Properti atau apapun namanya, paling tidak berisikan informasi atau patokan zona-zona nilai tanah terutama di wilayah-wilayah pengembangan pembangunan suatu kota atau kabupaten.
Selain zona nilai tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan (properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut juga bisa langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah, rumah, apartemen, ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap perlu sebagai acuan dalam mengoreksi kepatutan harga atas transaksi properti atau real estate tertentu. Nilai suatu bangunan juga sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu indikasi nilai biaya pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam pengenaan PPN kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan (KEP-533/PJ/2000). Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi nilai sewa wajar atas properti pada setiap zona sebagai instrument yang mendukung untuk menentukan besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan.
Dengan mengoptimalkan tenaga Fungsional Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu meng-update nilai pasar wajar properti yang mana informasi data harga pasar suatu properti sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media, jual-beli online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan instrumen SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi jual-beli properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan kewajiban PPh maupn PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak pada sektor properti yang terus berkembang. Instrumen ini juga dapat memberikan kepastian hukum ataupun akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang dapat menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.
Dengan instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai tertentu pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai rentang nilai yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan adalah bahwa tidak menutup kemungkinan instrumen tersebut digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebagai acuan dalam penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2 maupun BPHTB sehingga dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah tersebut. Manfaat lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan seimbang baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa adil bagi masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan tingkat partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.
Oleh Aidin Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Sumber: www.pajak.go.id
Selasa, 27 Mei 2014
Sistem Penomoran Baru Dalam Pembuatan Faktur Pajak
Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur
Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya
penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk
menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak
kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan kenyamanan
kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat.
Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.
Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.
Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).
Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.
Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.
Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).
Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
- Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
- Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
- Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
- Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
- Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
- PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
- Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Senin, 26 Mei 2014
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan sebagai berikut:
- penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
- penghasilan berupa hadiah undian;
- penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
- penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
- penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
- Koperasi;
- Penyelenggara kegiatan;
- Otoritas bursa; dan
- Bendaharawan;
- Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
- Penerima hadiah undian;
- Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
- Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
- Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
- Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan;
- Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final.
Sabtu, 24 Mei 2014
Apa itu Pajak Pertambahan Nilai (PPn)?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di
dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
Besarnya PPN yang harus dibayar adalah 10% dari harga jual. Misalnya harga jual komputer Rp4.000.000,00, maka PPN-nya adalah 10% x Rp4.000.000,00 = Rp400.000,00, sehingga total harganya menjadi Rp4.400.00,00. Biasanya, barang yang dijual terdapat tulisan “harga barang sudah termasuk PPN”.
Siapa saja yang wajib membayar PPN?
Setiap orang atau badan usaha di Indonesia yang membeli Barang Kena Pajak dan memanfaatkan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean, diwajibkan membayar PPN.
Dimana kita sebaiknya membeli barang yang terutang PPN?
Belilah barang pada pengusaha yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah ditunjuk Kantor Pelayanan Pajak untuk memungut PPN.
Apakah membeli barang bajakan atau selundupan terutang PPN?
Penjual barang bajakan atau barang selundupan tidak membayar PPN. Dengan demikian orang pribadi atau badan usaha yang membeli barang bajakan atau barang selundupan sama dengan menghindari kewajiban membayar PPN yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang PPN.
Bagaimana kalau kita membeli barang bajakan atau barang selundupan?
Membeli barang bajakan atau barang selundupan berarti tidak membayar PPN. Tidak membayar PPN berarti mengurangi jumlah penerimaan negara dan secara otomatis akan mengurangi anggaran untuk membangun fasilitas umum, membantu rakyat miskin, membantu murid SD dan SMP Negeri melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan membantu peningkatan kesejahteraan rakyat serta biaya-biaya lainnya yang manfaatnya dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: www.pajak.go.id
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
Besarnya PPN yang harus dibayar adalah 10% dari harga jual. Misalnya harga jual komputer Rp4.000.000,00, maka PPN-nya adalah 10% x Rp4.000.000,00 = Rp400.000,00, sehingga total harganya menjadi Rp4.400.00,00. Biasanya, barang yang dijual terdapat tulisan “harga barang sudah termasuk PPN”.
Siapa saja yang wajib membayar PPN?
Setiap orang atau badan usaha di Indonesia yang membeli Barang Kena Pajak dan memanfaatkan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean, diwajibkan membayar PPN.
Dimana kita sebaiknya membeli barang yang terutang PPN?
Belilah barang pada pengusaha yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah ditunjuk Kantor Pelayanan Pajak untuk memungut PPN.
Apakah membeli barang bajakan atau selundupan terutang PPN?
Penjual barang bajakan atau barang selundupan tidak membayar PPN. Dengan demikian orang pribadi atau badan usaha yang membeli barang bajakan atau barang selundupan sama dengan menghindari kewajiban membayar PPN yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang PPN.
Bagaimana kalau kita membeli barang bajakan atau barang selundupan?
Membeli barang bajakan atau barang selundupan berarti tidak membayar PPN. Tidak membayar PPN berarti mengurangi jumlah penerimaan negara dan secara otomatis akan mengurangi anggaran untuk membangun fasilitas umum, membantu rakyat miskin, membantu murid SD dan SMP Negeri melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan membantu peningkatan kesejahteraan rakyat serta biaya-biaya lainnya yang manfaatnya dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: www.pajak.go.id
Jumat, 23 Mei 2014
Sistem Akuntasi
Metode dan prosedur untuk mencatat dan melaporkan informasi keuangan
yang disediakan bagi perusahaan atau suatu organisasi bisnis disebut
sistem akuntansi. Sistem akuntansi yang diterapkan dalam perusahaan
besar sangat kompleks. Kompleksitas sistem tersebut disebabkan oleh
kekhususan dari sistem yang didisain untuk suatu organisasi bisnis
sebagai akibat dari adanya perbedaan kebutuhan akan informasi oleh
manajer, bentuk dan jalan transaksi laporan keuangan. Sistem akuntansi
terdiri atas dokumen bukti transaksi, alat-alat pencatatan, laporan dan
prosedur yang digunakan perusahaan untuk mencatat transaksi-transaksi
serta melaporkan hasilnya.
Operasi suatu sistem akuntansi meliputi tiga tahapan:
Desain Sistem
Sistem akuntansi di disain harus memenuhi spesifikasi informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan, asalkan informasi tersebut tidak terlalu mahal. Dengan demikian, pertimbangan utama dalam mendisain sistem akuntansi adalah keseimbangan antara manfaat dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi tersebut.
Agar efektif, laporan yang disajikan oleh sistem akuntansi harus dibuat secara tepat waktu, jelas dan konsisten. Laporan yang disajikan dengan pengetahuan dan kebutuhan pemakai agar dapat digunakan sebagai pertimbangan didalam pengambilan keputusan.
Disainer (perancang) sistem harus memiliki pengetahuan untuk membedakan sistem akuntansi dan metode pemrosesan data baik pemrosesan data secara manual maupun dengan menggunakan komputerisasi. Kemampuan untuk membedakan pemrosesan transaksi secara manual dan komputer cukup penting, karena pada organisasi bisnis tertentu tidak semua transaksi dapat di proses dengan komputer dan kemampuan disainer sistem dalam mengevaluasi alternatif-alternatif yang dipertimbangkan pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar sistem akuntansi. Singkatnya, prinsip dasar yang terkandung dalam sistem akuntansi yang baik kemungkinan besar sistem yang didisain pada perusahaan tertentu akan mengalami kesulitan ketika diterapkan.
Implementasi sistem
Implementasi sistem bukan hanya merupakan tanggung jawab personel yang ada pada bagian tertentu, tetapi semua personil harus bertanggung jawab terhadap pengoperasian sistem. Pengoperasian sistem harus secara hati-hati dan selalu dilakukan supervisi atas sistem tersebut sebelum dioperasikan sepenuhnya.
Sumber: Wikipedia
Operasi suatu sistem akuntansi meliputi tiga tahapan:
- Harus mengenal dokumen bukti transaksi yang digunakan oleh perusahaan, baik mengenai jumlah fisik mupun jumlah rupiahnya, serta data penting lainnya yang berkaitan dengan transaksi perusahaan.
- Harus mengelompokkan dan mencatat data yang tercantum dalam dokumen bukti transaksi kedalam catatan-catatan akuntansi.
- Harus meringkas informasi yang tercantum dalam catatan-catatan akuntansi menjadi laporan-laporan untuk manajemen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Desain Sistem
Sistem akuntansi di disain harus memenuhi spesifikasi informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan, asalkan informasi tersebut tidak terlalu mahal. Dengan demikian, pertimbangan utama dalam mendisain sistem akuntansi adalah keseimbangan antara manfaat dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi tersebut.
Agar efektif, laporan yang disajikan oleh sistem akuntansi harus dibuat secara tepat waktu, jelas dan konsisten. Laporan yang disajikan dengan pengetahuan dan kebutuhan pemakai agar dapat digunakan sebagai pertimbangan didalam pengambilan keputusan.
Disainer (perancang) sistem harus memiliki pengetahuan untuk membedakan sistem akuntansi dan metode pemrosesan data baik pemrosesan data secara manual maupun dengan menggunakan komputerisasi. Kemampuan untuk membedakan pemrosesan transaksi secara manual dan komputer cukup penting, karena pada organisasi bisnis tertentu tidak semua transaksi dapat di proses dengan komputer dan kemampuan disainer sistem dalam mengevaluasi alternatif-alternatif yang dipertimbangkan pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar sistem akuntansi. Singkatnya, prinsip dasar yang terkandung dalam sistem akuntansi yang baik kemungkinan besar sistem yang didisain pada perusahaan tertentu akan mengalami kesulitan ketika diterapkan.
Implementasi sistem
Implementasi sistem bukan hanya merupakan tanggung jawab personel yang ada pada bagian tertentu, tetapi semua personil harus bertanggung jawab terhadap pengoperasian sistem. Pengoperasian sistem harus secara hati-hati dan selalu dilakukan supervisi atas sistem tersebut sebelum dioperasikan sepenuhnya.
Sumber: Wikipedia
Kamis, 22 Mei 2014
Apa Itu Laporan Arus Kas?
Laporan arus kas merupakan laporan keuangan yang
berisi informasi aliran kas masuk dan aliran kas keluar dari suatu
perusahaan selama periode tertentu. Informasi ini penyajiannya
diklasifikasikan menurut jenis kegiatan yang menyebabkan terjadinya
arus kas masuk dan kas keluar tersebut. Kegiatan perusahaan umumnya
terdiri dari tiga jenis yaitu, kegiatan operasional, kegiatan investasi
serta kegiatan pendanaan / keuangan.
Laporan arus kas terdiri atas tiga bagian:
Laporan arus kas terdiri atas tiga bagian:
- Yang pertama adalah arus kas dari aktivitas operasi. Bagian ini berisi aliran kas dari aktivitas operasional perusahaan sehari-hari seperti pembayaran ke supplier, penerimaan hasil penjualan, pembayaran pajak, dan lain-lain;
- Yang kedua adalah arus kas dari aktivitas investasi. Bagian ini berisikan aliran kas yang berkaitan dengan pembelian dan penjualan aset tetap;
- Yang ketiga adalah aliran kas dari aktivitas pendanaan. Bagian ini mencatat aliran kas yang berkaitan dengan aktivitas pendanaan, misalnya kas dari utang ataupun hasil penerbitan saham baru.
Rabu, 21 Mei 2014
Apa Itu Laporan Laba Rugi?
Laporan laba rugi adalah bagian dari laporan
keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi
yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga
menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih.
Secara umum unsur Pendapatan dan beban tersebut adalah sebagai berikut:
Secara umum unsur Pendapatan dan beban tersebut adalah sebagai berikut:
- Pendapatan Usaha;
- Retur dan Potongan Penjualan;
- Harga Pokok Penjualan;
- Beban Usaha;
- Pendapatan diluar usaha;
- Beban diluar usaha;
- Beban Pajak.
Selasa, 20 Mei 2014
Apa Itu Harga Pokok Produksi?
Harga pokok produksi merupakan biaya manufaktur yang berkaitan dengan
barang- barang yang diselesaikan dalam periode tertentu. Unsur - unsur
harga pokok produksi terdiri dari:
Fungsi harga pokok produksi adalah:
1. Harga pokok sebagai penetapan harga jual.
Harga pokok merupakan hal penting yang perlu diketahui oleh perusahaan karena harga pokok dapat memberikan pengaruh terhadap penentuan harga jual produk tertentu.
2. Harga pokok sebagai dasar penetapan laba.
Apabila perusahaan telah membuat perhitungan harga pokok maka perusahaan dapat menetapkan laba yang diharapkan yang akan mempengaruhi tingkat harga jual suatu produk tertentu.
3. Harga pokok sebagai dasar penilaian efisiensi.
Harga pokok dapat dijadikan dasar untuk mengontrol pemakaian bahan, upah dan biaya produksi tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga pokok standar terlebih dahulu dan kemudian membandingkan dengan harga pokok yang aktual atau yang sebenarnya terjadi. Apakah terdapat selisih antara perhitungan kedua harga pokok tersebut, apabila ada selisih negatif berarti proses produksi yang dilaksanakan belum efisien dan perusahaan perlu menngetahui penyebab terjadinya selisih tersebut, sehingga dapat diambil tindakan koreksi untuk memperbaiki kesalahan tersebut sedangkan bila ada selisih positif maka perlu ditelusuri terlebih lanjut atas selisih tersebut apakah karena perusahaan telah menjalankan proses produksi secara efisien atau perhitungan harga pokok standar yang kurang tepat.
4. Harga pokok sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan manajemen.
Harga pokok merupakan suatu pedoman penting sekaligus sebagai suatu dasar untuk pengambilan keputusan khusus perusahaan, misalnya:
- Biaya bahan baku;
- Biaya Tenaga kerja langsung;
- Biaya overhead pabrik;
- Barang dalam proses awal;
- (Barang dalam proses akhir).
Fungsi harga pokok produksi adalah:
1. Harga pokok sebagai penetapan harga jual.
Harga pokok merupakan hal penting yang perlu diketahui oleh perusahaan karena harga pokok dapat memberikan pengaruh terhadap penentuan harga jual produk tertentu.
2. Harga pokok sebagai dasar penetapan laba.
Apabila perusahaan telah membuat perhitungan harga pokok maka perusahaan dapat menetapkan laba yang diharapkan yang akan mempengaruhi tingkat harga jual suatu produk tertentu.
3. Harga pokok sebagai dasar penilaian efisiensi.
Harga pokok dapat dijadikan dasar untuk mengontrol pemakaian bahan, upah dan biaya produksi tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan harga pokok standar terlebih dahulu dan kemudian membandingkan dengan harga pokok yang aktual atau yang sebenarnya terjadi. Apakah terdapat selisih antara perhitungan kedua harga pokok tersebut, apabila ada selisih negatif berarti proses produksi yang dilaksanakan belum efisien dan perusahaan perlu menngetahui penyebab terjadinya selisih tersebut, sehingga dapat diambil tindakan koreksi untuk memperbaiki kesalahan tersebut sedangkan bila ada selisih positif maka perlu ditelusuri terlebih lanjut atas selisih tersebut apakah karena perusahaan telah menjalankan proses produksi secara efisien atau perhitungan harga pokok standar yang kurang tepat.
4. Harga pokok sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan manajemen.
Harga pokok merupakan suatu pedoman penting sekaligus sebagai suatu dasar untuk pengambilan keputusan khusus perusahaan, misalnya:
- Menetapkan perubahan harga penjualan;
- Menetapkan penyesuaian proses produksi;
- Menetapkan strategi persaingan di pasaran luas;
- Pengambilan keputusan-keputusan khusus manajemen, seperti apakah akan membeli atau membuat sendiri suatu suku cadang, apakah menerima suatu pesanan khusus dengan harga khusus atau tidak.
Senin, 19 Mei 2014
Sistem Penomoran Baru Dalam Pembuatan Faktur Pajak
Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur
Pajak mempunyai peran yang sangat strategis. Berbagai upaya
penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk
menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak
kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelayanan dan kenyamanan
kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat.
Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.
Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.
Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).
Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013.
Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.
Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).
Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :
- Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
- Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
- Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
- Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
- Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
- PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
- Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Jumat, 16 Mei 2014
Apa Itu Biaya Produksi?
Biaya produksi adalah semua pengeluaran perusahaan untuk memperoleh
factor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan
barang-barang produksi oleh perusahaan tersebut.
Secara umum, unsur - unsur biaya produksi pada perusahaan manufacturing adalah sebagai berikut:
Secara umum, unsur - unsur biaya produksi pada perusahaan manufacturing adalah sebagai berikut:
- Biaya bahan baku, yaitu biaya pemakaian material utama dalam menghasilkan produk, contoh: kertas merupakan bahan baku utama untuk produksi percetakan;
- Biaya tenaga kerja langsung, yaitu biaya upah dikeluarkan perusahaan dalam rangka menghasilkan produk, contoh upah operator mesin cetak, dll;
- Biaya Overhead, merupakan biaya - biaya penolong yang mendukung proses produksi, seperti lem merupakan biaya overhead pada perusahaan percetakan. Biaya overhead yang tidak bisa diidentifikasi secara rinci terhadap satuan produk, ditetapkan tarif sesuai dengan volume dan waktu produksi.
Kamis, 15 Mei 2014
Cermati Daftar PKP Yang Dicabut Agar Terhindar Dari Sanksi Perpajakan
Oleh Moh Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bila kita cermati akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?
Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Bila kita cermati akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id) pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?
Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU)
Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang
Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa
Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Artinya
bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika melakukan penyerahan
Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam hal ini
Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha
mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban
tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah
pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di bawah ini.
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku
yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran
sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut,
peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong
Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN.
Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya
sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena
kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang
selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut
dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto
PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta
rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi
merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena omset sebesar Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang
dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya, maka PT ABC
pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil, kecuali PT
ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :
- memungut,
- menyetor, dan
- melaporkan
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
- mengkreditkan PPN yang dipungut oleh suppliernya
- memperoleh kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
- PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
- PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
-
PT XYZ menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp 1.000.000,00.
Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:- Bagi PT XYZ faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
- Sedangkan bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
-
PT ABC menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar Rp 1.500.000,00:
- Bagi PT ABC faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
- Bagi Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
-
PT ABC kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur Pajak Keluaran) 1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan Pajak Masukan. - Sejumlah Rp 500.000,00 tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas
penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak
dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di atas,
apabila PT XYZ karena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai
Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ
tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang
harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar
Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.
Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan
tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak
sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya
PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui
dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC.
Akibatnya,
PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi
perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat
dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ
terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).
Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari
dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu
kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut
statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber: www.pajak.go.id
Rabu, 14 Mei 2014
Metode Penetapan Harga Pokok Produksi
Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara untuk
memperhitungkan unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Dalam
memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi,
terdapat dua pendekatan yaitu full costing dan variabel costing.
1. Full Costing
Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku variabel maupun tetap.
Pendekatan full costing yang biasa dikenal sebagai pendekatan tradisional menghasilkan laporan laba rugi dimana biaya-biaya di organisir dan sajikan berdasarkan fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi pihak luar perusahaan, oleh karena itu sistematikanya harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk menjamin informasi yang tersaji dalam laporan tersebut.
2. Variabel Costing
Variabel costing merupakkan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.
Dalam pendekatan ini biaya-biaya yang diperhitungkan sebagai harga pokok adalah biaya produksi variabel yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel. Biaya-biaya produksi tetap dikelompokkan sebagai biaya periodik bersama-sama dengan biaya tetap non produksi.
Pendekatan variabel costing di kenal sebagai contribution approach merupakan suatu format laporan laba rugi yang mengelompokkan biaya berdasarkan perilaku biaya dimana biaya-biaya dipisahkan menurut kategori biaya variabel dan biaya tetap dan tidak dipisahkan menurut fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan.
Dalam pendekatan ini biaya-biaya berubah sejalan dengan perubahan out put yang diperlakukan sebagai elemen harga pokok produk. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pihak internal oleh karena itu tidak harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
1. Full Costing
Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku variabel maupun tetap.
Pendekatan full costing yang biasa dikenal sebagai pendekatan tradisional menghasilkan laporan laba rugi dimana biaya-biaya di organisir dan sajikan berdasarkan fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi pihak luar perusahaan, oleh karena itu sistematikanya harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk menjamin informasi yang tersaji dalam laporan tersebut.
2. Variabel Costing
Variabel costing merupakkan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.
Dalam pendekatan ini biaya-biaya yang diperhitungkan sebagai harga pokok adalah biaya produksi variabel yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel. Biaya-biaya produksi tetap dikelompokkan sebagai biaya periodik bersama-sama dengan biaya tetap non produksi.
Pendekatan variabel costing di kenal sebagai contribution approach merupakan suatu format laporan laba rugi yang mengelompokkan biaya berdasarkan perilaku biaya dimana biaya-biaya dipisahkan menurut kategori biaya variabel dan biaya tetap dan tidak dipisahkan menurut fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan.
Dalam pendekatan ini biaya-biaya berubah sejalan dengan perubahan out put yang diperlakukan sebagai elemen harga pokok produk. Laporan laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pihak internal oleh karena itu tidak harus disesuaikan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Selasa, 13 Mei 2014
Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Terbaru
Oleh Moh. Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Catatan:
Sumber: www.pajak.go.id
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji | 3.000.000,00 | |
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja | 15.000,00 | |
Premi Jaminan Kematian | 9.000,00 | |
Penghasilan bruto | 3.024.000,00 | |
Pengurangan | ||
1. Biaya jabatan | ||
5%x3.024.000,00 | 151.200,00 | |
2. Iuran Pensiun | 50.000,00 | |
3. Iuran Jaminan Hari Tua | 60.000,00 | |
261.200,00 | ||
Penghasilan neto sebulan | 2.762.800,00 | |
Penghasilan neto setahun | ||
12x2.762.800,00 | 33.153.600,00 | |
PTKP | ||
- untuk WP sendiri | 24.300.000,00 | |
- tambahan WP kawin | 2.025.000,00 | |
26.325.000,00 | ||
Penghasilan Kena Pajak setahun | 6.828.600,00 | |
Pembulatan | 6.828.000,00 | |
PPh terutang | ||
5%x6.828.000,00 | 341.400,00 | |
PPh Pasal 21 bulan Juli | ||
341.400,00 : 12 | 28.452,00 |
- Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
- Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
Sumber: www.pajak.go.id
Senin, 12 Mei 2014
Tata Cara Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan atas Pengusaha Kecil PPN Tahun 2014
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Secara Jabatan atas Pengusa Kecil Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2014, maka ada beberapa ketentuan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai berikut:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 diterbitkan untuk mengatur secara khusus pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan atas pengusaha kecil PPN tahun 2014.
- Pencabutan PKP secara jabatan tersebut akan dilakukan oleh KPP terhadap PKP yang:
- mempunyai jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam tahun 2013 sampai dengan Rp4,8 Miliar; dan
- memilih untuk dicabut status pengukuhan PKP-nya.
- PKP diminta untuk menyampaiakn Surat Pernyataan sebagaimana diatur dalam PER-12/PJ/2014 yang menyatakan memilih tetap sebagai PKP atau memilih untuk dicabut status pengukuhan PKP-nya paling lambat tanggal 31 Mei 2014 ke KPP tempat PKP dikukuhkan.
- Formulir Surat Pernyataan dapat diunduh di www.pajak.go.id atau diperoleh di KPP tempat PKP dikukuhkan.
Sumber: www.pajak.go.id
Jumat, 09 Mei 2014
Akuntansi Biaya
Akuntansi biaya adalah suatu bidang akuntansi yang
diperuntukkan bagi proses pelacakan, pencatatan, dan analisa terhadap
biaya-biaya yang berhubungan dengan aktivitas suatu organisasi untuk
menghasilkan barang atau jasa. Biaya didefinisikan sebagai waktu dan
sumber daya yang dibutuhkan dan menurut konvensi diukur dengan satuan
mata uang. Penggunaan kata beban adalah pada saat biaya sudah habis
terpakai.
Objek biaya adalah sebagai suatu item atau aktivitas yang biayanya diakumulasi dan diukur. Berikut adalah aktivitas atau item-item yang dapat menjadi objek biaya:
Objek biaya adalah sebagai suatu item atau aktivitas yang biayanya diakumulasi dan diukur. Berikut adalah aktivitas atau item-item yang dapat menjadi objek biaya:
- Produk, Proses
- Batch dari unit-unit sejenis , Departemen
- Pesanan pelanggan, Divisi
- Kontrak, Proyek
- Lini produk, Tujuan strategis
Kamis, 08 Mei 2014
Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan
Arus kas dari aktivitas pendanaan mengukur aliran dana antara
perusahaan, pemilik dan krediturnya. Perusahaan sering meminjam uang
untuk membiayai operasi mereka, mendapatkan perusahaan lain atau
melakukan pembelian lain dalam jumlah besar.
Pengeluaran operasional berdasarkan waktu, seperti memenuhi kebutuhan pengupahan, bisa menjadi satu alasan untuk pendanaan arus kas. Perusahaan pada dasarnya meminjam dari arus kas yang diharapkan akan diterima di masa yang akan datang dengan memberikan hak kepada perusahaan lain atas bagian dari penerimaan mereka. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan hari ini, ketimbang suatu saat di masa yang akan datang.
Sumber: Ipot Forum
Pengeluaran operasional berdasarkan waktu, seperti memenuhi kebutuhan pengupahan, bisa menjadi satu alasan untuk pendanaan arus kas. Perusahaan pada dasarnya meminjam dari arus kas yang diharapkan akan diterima di masa yang akan datang dengan memberikan hak kepada perusahaan lain atas bagian dari penerimaan mereka. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pendanaan hari ini, ketimbang suatu saat di masa yang akan datang.
Sumber: Ipot Forum
Rabu, 07 Mei 2014
Sekilas tentang Perusahaan Jasa
Perusahaan jasa adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan berbagai pelayanan atau memproduksi produk yang tidak berwujud dengan tujuan menghasilkan laba.
Berbagai bidang perusahaan jasa dapat bergerak dalam usaha jasa, antara lain:
a. Transportasi, diantaranya perusahaan bus kota, taksi dan angkutan kota / desa;
b. Reparasi dan pemeliharaan, diantaranya bengkel, cuci mobil dan cleaning service;
c. Komunikasi, meliputi telepon, radio dan TV, serta penerbitan surat kabar dan majalah;
d. Tempat tinggal, diantaranya mess, hotel dan penginapan;
e. Keahlian perseorangan yaitu, salon kecantikan, tukang jahit dan foto studio;
f. Hiburan, diantaranya bioskop dan tempat rekreasi;
g. Profesi,diantaranya akuntan, pengacara, rumah bersalin dan notaris.
Selasa, 06 Mei 2014
Arus Kas dari Aktivitas Investasi
Arus kas dari aktivitas investasi (cash flows investing activities)
adalah: aktivitas kas dari transaksi yang mempengaruhi investasi aktiva
tetap. Contoh: penjualan dan pembelian aktiva tetap, seperti: peralatan
dan bangunan. Transaksi kas yang berhubungan dengan perolehan
fasilitas investasi dan non kas lainnya yang digunakan oleh perusahaan.
Arus kas masuk terjadi jika kas yang diterima dari hasil atau pengembalian investasi yang dilakukan sebelumnya, misalnya: dari hasil atau penjualan.
Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Investasi, misalnya:
a. Penjualan aktiva tetap.
b. Penjualan surat berharga yang berupa investasi.
c. Penagihan pinjaman jangka panjang (tidak termasuk bunga jika ini merupakan kegiatan investasi).
Arus kas masuk terjadi jika kas yang diterima dari hasil atau pengembalian investasi yang dilakukan sebelumnya, misalnya: dari hasil atau penjualan.
Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Investasi, misalnya:
a. Penjualan aktiva tetap.
b. Penjualan surat berharga yang berupa investasi.
c. Penagihan pinjaman jangka panjang (tidak termasuk bunga jika ini merupakan kegiatan investasi).
Arus Kas dari Aktivitas Operasional
Jumlah aliran arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan
indikator yang menentukan apakah dari operasi perusahaan dapat
menghasilkan aliran kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, pemeliharaan
kemampuannya tersebut membayar deviden dan melakukan investasi baru
tanpa mengandalkan para sumber pendanaan dari luar.
Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:
Arus kas keluar yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:
Arus kas masuk yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:
- Kas yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa secara tunai;
- Kas yang diterima dari penagihan piutang dagang dan piutang lainnya;
- Kas yang diterima dari kontrak yang diadakan untuk tujuan transaksi usaha.
Arus kas keluar yang berasal dari Aktivitas Operasi, misalnya:
- Kas yang dikeluarkan untuk pajak dan biaya administrasi lainnya;
- Pembayaran hutang-hutang jangka pendek, yang meliputi: hutang dagang, gaji, bunga dan sebagainya;
- Pembayaran untuk pembelian barang dan jasa;
- Pengeluaran kas untuk kegiatan operasi termasuk juga untuk pembayaran biaya gaji, upah, sewa dan biaya operasi lainnya.
Senin, 05 Mei 2014
Apa Itu Rekonsiliasi Bank?
Rekonsiliasi Bank merupakan langkah - langkah yang dilakukan untuk
menentukan hal-hal yang menimbulkan perbedaan Saldo yang tampak pada
laporan perusahaan dengan laporan bank.
Rekonsiliasi bank melakukan pembandingan setiap transaksi yang dicatat oleh perusahaan dengan transaksi yang dicatat oleh bank.
Hal - hal yang menyebabkan saldo dari rekening koran sering tidak sama dengan saldo dalam buku pemegang giro:
Rekonsiliasi bank melakukan pembandingan setiap transaksi yang dicatat oleh perusahaan dengan transaksi yang dicatat oleh bank.
Hal - hal yang menyebabkan saldo dari rekening koran sering tidak sama dengan saldo dalam buku pemegang giro:
- Check dalam peredaran;
- Setoran belum sempat dicatat oleh bank karena disetor pada akhir bulan;
- Biaya administrasi bank yang hanya diketahui oleh pemegang giro setelah ada laporan bank;
- Biaya atas wesel yang diserahkan kepada bank yang dibebankan oleh bank terhadap pemegang giro.
Minggu, 04 Mei 2014
Proses Penyesuaian dan Eliminasi Laporan Keuangan Konsolidasi
Ada beberapa proses penyesuaian dan eliminasi dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, diantaranya:
- Penyesuaian untuk mengeleminasi laba dan rugi antar perusahaan;
- Penyesuaian untuk mengeliminasi laba dan deviden dari perusahaan anak dan menyesuaikan investasi dalam perusahaan anak dengan saldo awal periode;
- Penyesuaian untuk mencatat hak minoritas pada laba dan deviden perusahaan anak;
- Mengeliminasi saldo investasi dalam perusahaan anak dan ekuitas perusahaan anak;
- Mengalokasikan dan mengamortisasi perbedaan biaya / nilai buku;
- Mengeliminasi saldo yang bersifat resiprokal lainnya (utang-piutang antar perusahaan, pendapatan serta beban, dan lainnya).
Sabtu, 03 Mei 2014
Ulasan Singkat Budgeting
Budgeting ialah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang
meliputi seluruh kegiatan perusahaan (yang menimbulkan penerimaan / hak
dan juga pengeluaran/kewajiban), yang dinyatakan dalam unit (kesatuan)
moneter dan berlaku untuk jangka waktu / periode tertentu yang akan
datang.
Unsur - unsur budgeting:
• Rencana
• Meliputi selururuh kegiatan perusahaan :
• Untuk waktu yang akan datang
Unsur - unsur budgeting:
• Rencana
- Penentuan terlebih dahulu tentang berbagai aktivitas yang akan dilakukan di waktu yang akan datang.
- Rencana tsb. memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu, seperti; disusun secara sistematis, mencakup seluruh kegiatan perusahaan, dan dinyatakan dlm. satuan moneter/uang
• Meliputi selururuh kegiatan perusahaan :
- Fungsi produksi
- Fungsi pembelanjaan/keuangan
- Fungsi administrasi
- Fungsi pemasaran
- Fungsi personalia
• Untuk waktu yang akan datang
Jumat, 02 Mei 2014
Pencadangan Piutang Tak Tertagih
Dalam praktik akuntansi terutama untuk basis akrual, timbulnya utang
dan piutang merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi. Untuk piutang,
biasanya timbul karena kebijakan kredit dari perusahaan dalam
penjualan barang atau jasa perusahaan kepada pihak lain.
Namun, terkadang terjadi suatu keadaan tidak tertagihnya sebagian piutang oleh perusahaan, hal ini merupakan konsekuensi dari kebijakan kredit yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang bertujuan meningkatkan penjualan barang atau jasa perusahaan, tidak tertagihnya piutang mencerminkan aliran keluar (outflow) aktiva atau aset sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan (revenue). Oleh karena itu, piutang tak tertagih dikategori sebagai biaya (expense). Meskipun begitu, terdapat pandangan teoretis bahwa piutang tak tertagih (bad debt) diakui sebagai pengurang penjualan, serupa dengan perlakuan potongan penjualan dan retur penjualan.
Untuk pengakuan kerugian dari piutang tak tertagih biasanya digunakan dua metode yaitu:
Namun, terkadang terjadi suatu keadaan tidak tertagihnya sebagian piutang oleh perusahaan, hal ini merupakan konsekuensi dari kebijakan kredit yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang bertujuan meningkatkan penjualan barang atau jasa perusahaan, tidak tertagihnya piutang mencerminkan aliran keluar (outflow) aktiva atau aset sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan (revenue). Oleh karena itu, piutang tak tertagih dikategori sebagai biaya (expense). Meskipun begitu, terdapat pandangan teoretis bahwa piutang tak tertagih (bad debt) diakui sebagai pengurang penjualan, serupa dengan perlakuan potongan penjualan dan retur penjualan.
Untuk pengakuan kerugian dari piutang tak tertagih biasanya digunakan dua metode yaitu:
- Metode cadangan, yang mengakui rugi piutang tak tertagih pada periode penjualan kredit yang sedang berjalan dengan cara menaksir dan bukan pada saat periode dihapusnya piutang.
- Metode langsung, atau metode penghapusan langsung yang mengakui rugi pada saat telah terjadi penghapusan piutang dengan mendebit Biaya Piutang tidak tertagih dan mengkredit Piutang Usaha, namun metode ini hanya diperbolehkan apabila jumlahnya tidak material.
Kamis, 01 Mei 2014
Apa Itu Laporan Perubahan Modal?
Laporan perubahan modal, adalah laporan yang menunjukkan perubahan
modal untuk periode tertentu, mungkin satu bulan atau satu tahun.
Melalui laporan perubahan modal dapat diketahui sebab-sebab perubahan
modal selama periode tertentu.
Di dalam laporan perubahan modal terdapat beberapa komponen diataranya :
Di dalam laporan perubahan modal terdapat beberapa komponen diataranya :
- Modal awal : Keseluruhan dana yang di investasikan kedalam perusahan yang digunakan untuk menunjang pengoperasian perusahan pada saat awal perusahan tersebut baru berdiri atau posisi modal awal perusahan pada awal bulan pada tahun yang bersangkutan;
- Laba / rugi : Selisih dari bersih antara total pendapatan dengan total biaya;
- Prive : Penarikan sejumlah dana oleh pemilik perusahan yang digunakan untuk keperluan di luar kegiatan / operasional perusahaan atau yang digunakan untuk keperluan pribadi;
- Modal akhir : Keseluruhan dana yang merupakan hasil akhir dari penambahan modal awal ditambah dengan laba ( jika mengalami keuntungan ) atau pengurangan modal awal dikurangi rugi usaha ( Jika mengalami kerugian ) kemudian dikurangi dengan total prive dan hasil merupakan modal akhir.
Langganan:
Postingan (Atom)